- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Dec 1, 2020
- Event Description
Polres Gorontalo Kota membubarkan aksi aliansi mahasiswa Papua yang digelar di gerbang kampus Universitas Negeri Gorontalo (UNG), Selasa (1/12/2020).
Sejatinya, aksi ini digelar oleh aliansi mahasiswa Papua di Gorontalo untuk memperingati lahirnya Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang jatuh pada 1 Desember.
“Aksi ini terpaksa dibubarkan karena tidak memiliki izin,” kata Kapolres Gorontalo Kota, AKBP Desmont Harjendro AP SIK, saat dikonfirmasi wartawan.
Dikatakan Kapolres pula, bahwa di masa pandemi ini pihaknya harus benar-benar mencegah kerumunan dan hal-hal lainnya yang berpotensi bertambahnya virus corona.
Pembubaran aksi oleh pihak kepolisian pun awalnya telah dilakukan secara persuasif, namun sayang tidak diindahkan oleh mahasiswa Papua tersebut. Olehnya, polisi pun melakukan upaya paksa untuk membubarkan aksi.
“Tadi memang nyaris terjadi gesekan dengan massa aksi, namun semuanya bisa dikendalikan,” tandas mantan Kapolres Bone Bolango itu. Sebelumnya, aliansi mahasiswa Papua menggelar aksi Free West Papua (Fri-WP) dalam rangka memperingati HUT OPM ini menyampaikan beberapa tuntutannya, di antaranya memprotes pemerintah yang dianggap selalu mendeskripsikan masyarakat Papua dan mengeroyok kekayaan di tanah Papua.
- Impact of Event
- 1
- Gender of HRD
- Other (e.g. undefined, organisation, community)
- Violation
- Administrative Harassment
- Rights Concerned
- #COVID-19, Freedom of assembly, Offline, Right to Protest
- HRD
- Student
- Perpetrator-State
- Police
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Jan 20, 2021
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Dec 1, 2020
- Event Description
Beredar informasi soal pembubaran massa aksi oleh aparat berpakaian preman sekira pukul 13.35 WIT di depan Pasar Barito, Gamalama, Ternate Tengah. Kapolres Ternate AKBP Aditya Laksimada membenarkan hal tersebut.
"Iya," ujar dia ketika dihubungi Tirto, Selasa (1/12/2020). Aditya menambahkan tidak ada penangkapan peserta aksi, hanya pembubaran demonstrasi saja. Massa berunjuk rasa menolak Otsus Papua jilid II, cabut Undang-Undang Cipta Kerja, dan berikan demokrasi bagi rakyat Papua. Aditya menyebut tiga hal dasar pembubaran. Pertama, massa tidak memiliki Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP), meski sudah menginformasikan kepada kepolisian. Kedua, massa menimbulkan kerumunan yang rawan penyebaran virus COVID-19. Ketiga, Polri mencegah hasutan dan ujaran yang mengarah kepada perpecahan bangsa.
Pemerintah dan aparat Indonesia kerap menyebut 1 Desember sebagai "hari ulang tahun Organisasi Papua Merdeka (OPM)." Masalahnya 1 Desember bukanlah hari ulang tahun OPM, meski itu memang sangat terkait erat dengan upaya memerdekakan diri Papua dari Indonesia.
Pernyataan ini disampaikan Juru Bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM), Sebby Sambom. "1 Desember itu hari para tokoh Papua dan pemerintahan Belanda mengumumkan embrio negara. OPM berjuang untuk pengakuan itu," katanya, Selasa (12/11/2019).
Pada 19 Oktober 1961, Nicholaas Jouwe, EJ Bonay, Nicholaas Tanggahma, dan F. Torey membuat manifesto politik yang mendesak Belanda agar "Papua mendapatkan tempat sendiri sama seperti bangsa-bangsa merdeka."
Kemudian, pada 1 Desember 1961, di kantor-kantor Hoofd van Plaatselijk Bestuur (HPB)--pemerintahan daerah--penduduk Papua berkumpul merayakan pengibaran bendera Papua Barat--Bintang Kejora--untuk kali pertama di samping bendera Belanda. Nyanyian religi 'Hai Tanahku Papua' dijadikan lagu nasional.
Sebagaimana Indonesia, Papua Barat juga diakui kemerdekaanya oleh Kerajaan Belanda. 1 Desember, dengan begitu, adalah simbol pengakuan Belanda atas berdirinya negara Papua Barat.
- Impact of Event
- 1
- Gender of HRD
- Man
- Violation
- Administrative Harassment
- Rights Concerned
- #COVID-19, Freedom of assembly, Offline, Right to Protest
- HRD
- Minority rights defender
- Perpetrator-State
- Police
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Jan 20, 2021
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Nov 20, 2020
- Event Description
Ratusan buruh Kota Batam yang berencana melakukan unjuk rasa di depan Kantor Wali Kota, hari ini terpaksa dibatalkan. Sebab, aparat melakukan pembubaran paksa demi menghindari terjadinya penyebaran Covid-19.
"Tidak bisa mas, ini kami masih kucing-kucingan sama aparat yang menginginkan kita tidak jadi melakukan aksi," kata Panglima Garda Metal FSPMI Batam, Suprapto, Jumat (20/11/2020).
Ia menjelaskan, direncanakan dalam aksi tersebut mereka akan kembali menuntut Pjs Wali Kota Batam, Syamsul Bahrum untuk menarik rekomendasi UMK 2021 yang dinilai sangat tidak pantas.
Syamsul Bahrum diketahui telah mengirimkan rekomendasi UMK 2021 Batam ke Gubernur Kepri dengan perhitungan naik sebesar 0,5 persen atau setara Rp 20.050.
Ditambah lagi, Suprapto menjelaskan, rekomendasi UMK 2021 tersebut dikeluarkan Pjs Wali Kota Batam sebelum permasalahan SK Gubernur Kepri nomor 1300 tahun 2020 tentang UMP 2021, yang tidak ada kenaikan upah.
"Jelas ini kesalahan fatal, ingat Pak Syamsul. Anda hanya Pjs dan hanya akan bertahan selama 3 minggu ke depan. Berilah yang terbaik kepada masyarakat Kota Batam. Jangan asal mengeluarkan rekomendasi UMK 2021 naik 0,5 persen tanpa dasar dan melanggar ketentuan-ketentuan yang ada. Kita selesaikan dulu permasalahan UMP 2021. Jika tidak, maka kami pastikan akan melakukan aksi yang lebih besar," tegasnya.
Aksi buruh Kota Batam melakukan penolakan UMP 2021 dan UMK Batam 2021 ini pun juga sudah berlangsung beberapa kali, mulai di Graha Kepri, UPT Pengawasan Ketenagakerjaan Disnakertrans, serta Pemko Batam dengan masa mencapai ribuan orang.
- Impact of Event
- 1
- Gender of HRD
- Other (e.g. undefined, organisation, community)
- Violation
- Administrative Harassment
- Rights Concerned
- #COVID-19, Freedom of assembly, Offline, Right to Protest
- HRD
- Labour rights defender
- Perpetrator-State
- Police
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Jan 15, 2021
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Nov 16, 2020
- Event Description
Aliansi Mahasiswa Papua meneriakkan referendum usai diadang kepolisian saat hendak berdemonstrasi di kawasan Istana Negara, Jakarta, Senin (16/11).
Saat polisi menutup akses jalan ke Istana, orator Roland Levy menyebut pengadangan sebagai bentuk represi terhadap demokrasi. Polisi melarang mahasiswa Papua berdemonstrasi di Istana meski telah menyampaikan pemberitahuan dari pekan lalu. Polisi memasang kawat berduri dan menutup akses menuju Istana.
"Ini bukti pembungkaman terhadap demokrasi. Ini juga terjadi di Tanah Papua," kata Roland di depan barikade kawat berduri.
Roland pun meminta rekan-rekannya untuk melantangkan perlawanan. Mereka menyanyikan lagu Papua Bukan Merah Putih, lagu yang menyatakan penolakan pengakuan Papua sebagai bagian dari wilayah Indonesia.
Mereka pun melanjutkan aksi dengan orasi-orasi politik di depan kawat berduri. Para mahasiswa Papua menyatakan tiga tuntutan, yakni penolakan operasi Blok Wabu bekas PT Freeport Indonesia, penolakan perpanjangan otonomi khusus Papua yang berakhir 2021, dan menolak UU Cipta Kerja.
Di tengah-tengah aksi, orator Roland Levy berulang kali meneriakkan referendum. Ia juga meneriakkan tuntutan untuk memerdekakan Papua.
"Referendum?" ucap Roland.
"Yes," kata massa.
"Papua?" ucap Roland lagi.
"Merdeka," saut massa.
"Otsus?" teriak Roland.
"Tolak," sambut massa.
Massa pun tetap bertahan di kawasan Patung Arjunawiwaha. Demonstran menyampaikan orasi politik secara bergantian tentang potret ketidakadilan si Tanah Papua.
Sejumlah kelompok masyarakat Papua memperjuangkan referendum agar Papua bisa memisahkan diri dari Indonesia. Tuntutan ini menguat sejak akhir tahun 2019.
Pada 17 Agustus 2019, ada aksi rasisme oknum aparat kepada mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur. Aksi rasisme itu pun memicu gelombang demonstrasi besar-besaran oleh mahasiswa Papua di berbagai daerah.
Dari aksi itu, sejumlah tokoh pemuda Papua ditangkap dan dipenjara. Beberapa di antaranya adalah aktor yang berunjuk rasa di Jakarta, seperti Ambrosius Mulait dan Surya Anta Ginting.
- Impact of Event
- 1
- Gender of HRD
- Other (e.g. undefined, organisation, community)
- Violation
- Administrative Harassment
- Rights Concerned
- Freedom of assembly, Offline
- HRD
- Minority rights defender
- Perpetrator-State
- Police
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Jan 15, 2021
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Aug 17, 2020
- Event Description
Peringatan HUT RI ke-75 di Sulbar diwarnai aksi demonstrasi. Puluhan orang yang tergabung dalam Aliansi Pemerhati Pendidikan Sulbar (Ampera) melakukan unjukrasa di bundaran depan Kantor Gubernur Sulbar. Mereka menuntut dugaan penanganan korupsi Dana Alokasi Khusus (DAK) pendidikan tahun 2020, Senin (17/08/2020).
Dilansir katinting.com, aksi yang awalnya berlangsung damai akhirnya ricuh dan dibubarkan secara paksa. Massa aksi kecewa karena dihadang polisi saat hendak bergerak menuju ke kantor Gubernur. Sehingga pengunjukrasa dalam orasinya menyampaikan dugaan kongkalikong pemerintah dengan aparat hukum dalam hal kasus korupsi. Orasi itu kemudian membuat tersinggung Kasatreskrim Polres Mamuju, AKP. Syamsuriansyah.
“Kau bisa buktikan itu? “Sekarang saja saya bisa ambil kamu,” tegas Syamsuriansyah.
Gesekan pun tak terhindarkan. Massa aksi dibubarkan dan lima orang diamankan.
Wakapolres Mamuju AKBP Arianto, mengatakan, tindakan tegas dilakukan sebagai bentuk komitmen yang disampaikan massa yang menyurat ke pihak kepolisian dengan titik kumpul di lapangan merdeka dan titik aksi di Bundaran Arteri, Mamuju. Namun massa aksi ingin menerobos masuk ke kantor Gubernur Sulbar sehingga dilakukan tindakan tegas.
“Tentu kami menjalankan komitmen yang disampaikan secara yuridis itu,” sambung Arianto.
Seorang massa aksi Rian, mengatakan, yang terjadi di lapangan diluar perkiraan. Ia pun menegaskan bahwa aksinya adalah aksi damai.
Ia pun berkomitmen mengawal lima temannya yang diamankan sampai dibebaskan.
Aksi ini mempertanyakan dugaan penyalahgunaan wewenang DAK Fisik Pendidikan Sulbar Tahun Anggaran 2020 sebesar Rp. 203.056.508.000,- untuk SMA, SMK, dan SLB di Sulbar. Diduga telah melanggar UU Tindak Pidana Korupsi. Dugaan itu juga dikaitkan dengan mutasi Kepala Sekolah (Kepsek) sebanyak 64 orang pada Mei 2020.
Adapun tuntutan massa aksi yaitu mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung, Polri, menangkap aktor dalang pembagian fee 20 persen dari total yang disinyalir mengalir ke kantor Gubernur Sulbar dan sejumlah pejabat penegak hukum di Sulbar.
Massa aksi juga meminta Gubernur mencopot/ menonaktifkan Kepala Bidang SMA dan SMK Disdikbud Sulbar. Dan mendesak DPRD Sulbar membetuk Panitia Khusus untuk mengawal masalah DAK tersebut.
- Impact of Event
- 1
- Gender of HRD
- Other (e.g. undefined, organisation, community)
- Violation
- Administrative Harassment
- Rights Concerned
- Freedom of assembly, Freedom of movement, Offline, Right to Protest
- HRD
- Pro-democracy defender
- Perpetrator-State
- Police
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Jan 15, 2021
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Jul 18, 2020
- Event Description
Wartawan sekaligus pemimpin redaksi (Pemred) Bandungkita.id, Mohammad Zezen Zainal beserta keluarga mendapatkan intimidasi dari orang tidak dikenal.
Aksi premanisme dan kekerasan tersebut diduga merupakan buntut dari liputan khusus Bandungkita.id terkait kepemimpinan dinasti yang berlangsung di Kabupaten Bandung.
Zezen menjelaskan,, intimidasi yang ia terima beserta keluarga dari mulai kekerasan verbal hingga menjurus pada kekerasan fisik yang mengancam keluarga.
“Sempat ada dua orang yang datang ke rumah dan menemui isteri saya, selanjutnya menyampaikan pesan agar saya tidak membuat berita yang macam-macam,”katanya.
Ia menambahkan, pesan yang disampaikan oleh kedua orang yang mengenakan helm full face tersebut lebih pada pemberhentian pemberitaan terkait isu kepemimpinan dinasti di Kabupaten Bandung.
“Mereka menyatakan akan melakukan apa pun jika saya dan BandungKita.id masih “mengganggu” dinasti dengan pemberitaan-pemberitaan yang dianggap negatif oleh mereka,”jelasnya.
Zezen menyebut, sang isteri pun tak luput dari intimidasi secara fisik. Salah satunya yakni upaya untuk mencelakai sang isteri saat berkendara di jalan raya.
“Menurut istri saya, yang menendang sepeda motornya adalah dua orang berboncengan menggunakan sepeda motor matic. Mereka menggunakan helm sehingga tidak terlihat wajah pelaku. Mereka langsung kabur ketika istri saya teriak minta tolong,” jelasnya.
Zezen mengaku sangat geram dengan aksi premanisme dan penyerangan yang dilakukan oleh oknum tidak dikenal tersebut. Terlebih, aksi premanisme dan penyerangan itu juga menimpa keluarganya yang tidak tahu apa-apa.
“Saya menduga mungkin ada pihak-pihak yang panas dan terganggu dengan berita yang diturunkan BandungKita.id. Apalagi sebelumnya memang ada yang bertemu dengan saya dan menawarkan kerjasama, tapi kami tolak karena mereka meminta banyak syarat dan meminta berita kondusif,” ungkap Zezen.
Setelah tawaran kerjasama ditolak, kata Zezen, ia juga mendapat informasi ada pihak yang ingin melaporkan BandungKita.id ke polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik. Namun, menurutnya, laporan itu salah alamat jika ditujukan kepada pihak kepolisian.
“Karena kami media, yang dipakai adalah Undang-undang Pers. Jika keberatan dengan pemberitaan kami, silakan sampaikan hak jawab. Kami dengan senang hati akan memuat hak jawab. Tapi kami selalu mencoba berimbang ketika memuat satu berita pun. Kami selalu tempuh semua prosedur agar pemberitaan kami cover both side. Kalau ngomong lapor ke polisi, berarti mereka enggak faham aturan soal media,” tuturnya.
Tak berselang lama dari informasi tersebut, Zezen juga mengaku sempat mendapat telepon dari seseorang yang mengingatkan agar tidak macam-macam dalam membuat berita. Apalagi terus memberitakan soal dinasti.
Sebab, ada pihak-pihak yang disebut sudah sangat emosional dan siap kapan saja “membungkam” BandungKita.id yang tetap memberitakan soal isu-isu sensitif diantaranya soal dinasti politik dan dugaan aliran dana eksekutif kepada pihak legislatif.
“Kami sedikit pun tidak ada maksud menyerang pihak mana pun. Kami hanya menjalankan fungsi kontrol sebagai media. Kami menjunjung tinggi kode etik dan prosedur pemberitaan. Kami hanya mengangkat satu isu yang menjadi fakta di masyarakat. Tapi sedikit sekali yang berani mengangkat isu-isu sensitif seperti ini,” ujar wartawan yang mengantongi sertifikasi UKW Kategori Wartawan Utama dari Dewan Pers tersebut.
Zezen mengaku sangat menyayangkan dan mengecam aksi intimidasi kepada pers yang menimpa diri dan keluarganya tersebut. Saat ini, kata dia, cara-cara menekan pers dengan aksi kekerasan sudah tidak relevan karena Indonesia adalah negara hukum.
Ia mempertimbangkan untuk melaporkan aksi intimidasi dan penyerangan tersebut kepada pihak kepolisian. Zezen juga berencana akan mengungsikan keluarganya sementara karena istrinya mengalami trauma berat sekaligus untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.
“Saya akan berdiskusi dahulu dengan teman-teman di BandungKita.id dan juga PWI, selaku induk organisasi kewartawanan tempat saya bernaung saat ini mengenai langkah apa yang akan diambil ke depan,” ujar Zezen yang tercatat sebagai anggota PWI Jabar itu.
- Impact of Event
- 1
- Gender of HRD
- Man
- Violation
- Intimidation and Threats, Violence (physical)
- Rights Concerned
- Online, Right to healthy and safe environment
- HRD
- Media Worker
- Perpetrator-State
- Unknown
- Perpetrator-Non-State
- Unknown
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Jan 15, 2021
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Nov 30, 2020
- Event Description
Semestinya Natan Weya, mahasiswa Universitas Pattimura (Unpatti) dan 20 kawan, menggelar demonstrasi peringatan tahunan 1 Desember Papua beberapa hari lalu. Tapi semua batal karena tempat tinggal mereka dikepung sejak malam sebelumnya. Reaksi ini dianggap tak patut.
TNI-Polri menyambangi asrama yang terletak di Jalan Ir. M. Putuhena, Kecamatan Teluk Ambon, Kota Ambon, ketika para penghuni sedang mempersiapkan demonstrasi pada Senin 30 November 2020 sekitar pukul 22.30 WIT. Datang pula seorang dosen Unpatti--yang dikenal Natan mengajar di Fakultas Ekonomi tapi tak tahu siapa namanya, Ketua RT, dan sekretaris desa.
Ketua RT mengatakan ia hendak mengecek apa betul ada penghuni baru di asrama itu. Tentu alasan ini tak masuk akal karena aparat turut serta. Para penghuni pun meminta 'tamu' angkat kaki, apalagi mereka datang hampir tengah malam.
Para tamu memang pergi, tapi itu hanya awal dari intimidasi.
"Setelah itu TNI, Polri, dan intelijen memblokade dua jalan tempat tinggal kami. Dibantu warga setempat," jelas Natan kepada reporter Tirto, Selasa (1/12/2020). Selain blokade, sekira pukul 03.30, teriakan makian terdengar empat kali. "Mereka melontarkan kata-kata makian [seperti] anjing, babi, binatang, goblok, dan segala macam. Tapi kami mahasiswa Papua tidak membalas." Terjadi pula pelemparan batu.Para penghuni tentu saja ketakutan. Perut mereka kosong tapi tak bisa keluar.
Seorang penghuni asrama, Abner Holago, lewat Facebook mengatakan rombongan berdiri di depan pintu menanyakan jumlah penghuni asrama dan apakah ada selain orang Papua dan yang bukan penghuni. Perdebatan mulai terjadi ketika rombongan memaksa masuk ke ruang tamu. Dia juga menayangkan beberapa video lain.
Para penghuni dituding “tidak memperingati 17 Agustus, tidak tahu terima kasih.” Juga menerima kalimat makian seperti 'semerlap' yang artinya 'biadab'.
Pemantauan oleh “[aparat] berpakaian preman” terus berlangsung meski intensitasnya berkurang. Para penghuni pun gagal menggelar demonstrasi. “Tapi kami bisa keluar beli makan dan minum. Mereka hanya pantau-pantau dengan motor, lewat-lewat saja,” katanya.
Kasubag Humas Polresta Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Lease Ipda Izak Leatemia membantah apa yang mereka lakukan disebut pengepungan. Ia bahkan bilang video yang beredar bohong belaka. “Video hoaks yang disebarkan melalui akun FB bernama Abner Holago memang membuat marah warga setempat, namun tidak ada pengepungan jalan masuk maupun mes mahasiswa ini,” ujar dia, Selasa, dikutip dari Antara.
Dolvis juga membantah ada pengepungan. “Saya bersama perangkat RT dan masyarakat masuk mes itu hanya untuk menanyakan ada orang yang dicurigai. Karena ketika kami masuk, ada yang lari ke belakang,” katanya. Izak bilang awalnya asrama itu didatangi oleh warga dari salah satu desa di Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah. Lantas Ketua RT 011/06 Dolvis da Costa beserta pejabat Desa Wayame Nur Alan La Saleman, anggota Bhabinkamtibmas dan personel Babinsa turut serta. Tujuannya untuk menanyakan identitas tamu.
Ketika para penghuni menolak, ada yang merekam kejadian itu dan membuat narasi seolah-olah mereka dikepung aparat. Kemudian rombongan balik badan. Meski demikian, guna menjaga situasi kondusif, personel polsek berjaga-jaga--yang bagi mahasiswa dianggap pengepungan dan membuat mereka takut.
Diskriminasi Bagi Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua Emanuel Gobay, apa yang terjadi di Ambon ini memperkuat fakta diskriminasi dan stigma kerap kali menimpa orang-orang Papua. Orang-orang Papua sering dicurigai berlebihan karena etnis mereka. Sulit membayangkan kejadian serupa menimpa orang-orang non-Papua.
Stigma dan diskriminasi ini juga dipraktikkan oleh aparat. “Aparat keamanan itu bagian dari pemerintah, bertanggung jawab untuk melindungi,” kaya Gobay kepada reporter Tirto, Rabu (2/12/2020). Ia lantas mengutip Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945, yang menyebut “perlindungan, pemajuan penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”
Selain itu, ia juga menegaskan masuknya aparat tanpa izin ke rumah merupakan tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 167 KUHP. Gobay berharap tak ada lagi kejadian pelanggaran hak konstitusi warga negara seperti ini.
Musni Umar, sosiolog dan Rektor Universitas Ibnu Chaldun, mengatakan dampak dari peristiwa ini tak lain adalah para mahasiswa “merasa dibenci” oleh lingkungan yang berbeda dari mereka. Itu semua hanya akan “mempertajam polarisasi” dan jelas-jelas “tidak ada yang diuntungkan.” Kepada reporter Tirto, Rabu, dia bilang bila kebencian menguat, maka bisa saja orang-orang Papua semakin teguh pendiriannya untuk memisahkan diri dari Indonesia. Oleh karena itulah dia bilang aparat semestinya bisa mengambil hati mereka secara bijak dan tanpa pendekatan kekuasaan. “Kalau rakyat, jangan diperlakukan seperti itu. Harus dilindungi,” katanya. Sementara menurut Koordinator Badan Pekerja Kontras Fatia Maulidiyanti, sulit melepaskan peristiwa ini dengan fakta bahwa itu terjadi satu hari sebelum peringatan 1 Desember. “Pengepungan juga bukan pertama kali terjadi. Ini bentuk ketidakadilan [yang] terus melembaga dan tidak pernah ditindaklanjuti oleh pemerintah,” katanya kepada reporter Tirto, Rabu.
Pengepungan serupa terjadi pada 16 Agustus tahun lalu. Asrama Mahasiswa Papua di Jalan Kalasan Nomor 10, Surabaya, Jawa Timur, dikepung aparat dan ormas karena para penghuninya dituduh merusak bendera merah putih--yang kemudian tak terbukti. Mereka juga diteriaki makian binatang. Asrama yang sama pada awal September dilempari karung berisi ular.
Pengepungan ini lantas memicu aksi protes besar-besaran di Papua dan di tempat lain selama berbulan-bulan.
- Impact of Event
- 2
- Gender of HRD
- Man, Other (e.g. undefined, organisation, community)
- Violation
- Intimidation and Threats, Vilification
- Rights Concerned
- Freedom of assembly, Offline, Right to healthy and safe environment, Right to protect reputation
- HRD
- Minority rights defender, Student
- Perpetrator-State
- Police
- Perpetrator-Non-State
- Non-state
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Jan 14, 2021
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Nov 17, 2020
- Event Description
Pembahasan soal otonomi khusus (otsus) Papua, yang akan berakhir pada 2021 nanti, terus berlanjut. Baru-baru ini salah satu forum legal yang membahas itu justru direpresi aparat, dalam hal ini kepolisian. Orang-orang yang terlibat ditangkapi karena dituduh merencanakan makar.
Salah satu orang yang ditangkap adalah Wensislaus Fatubun pada 17 November lalu. Ia berstatus Tenaga Ahli Majelis Rakyat Papua (MRP), representasi kultural di Papua yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Ia ditangkap ketika MRP tengah menyelenggarakan rapat dengar pendapat (RDP) wilayah, salah satu program kerja yang tujuannya mendengarkan aspirasi orang asli Papua (OAP) tentang otsus, berlangsung pada 17-18 November kemarin di gedung Vertenten Sai atau Aula Katedral Merauke.
Setelah RDP wilayah, mekanisme selanjutnya adalah menggelar RDP umum yang diikuti oleh MRP Papua-Papua Barat dan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah Papua-Papua Barat.
Pada 15 November, sekitar pukul 22.00, Kapolres Merauke AKBP Untung Surianata bertemu dan meminta Pastor Hengky Kariwob (Vikjen Keuskupan Agung Merauke), Pastor John Kandam (Sekretaris Uskup), dan Pastor Anselmus Amo (Direktur SKP KAMe) di Keuskupan untuk tidak memfasilitasi RDP. Pastor Anselmus lantas menelepon Canisius Mandagi, Uskup Agung Keuskupan Agung Merauke. Uskup menegaskan RDP dapat dilakukan karena itu bukan kegiatan politik.
Setengah jam kemudian, beberapa polisi datang ke Hotel Grand Mandala, Hotel Pangkat, dan Hotel Valentine, tempat para peserta dan penyelenggara RDP menginap. “MRP diminta untuk ke polres malam itu juga untuk bertemu dengan kapolres,” ucap Fatubun dalam keterangan tertulis Kamis (19/11/2020).
Fatubun bersama Koordinator Tim RDP MRP wilayah Anim Ha, seorang staf MRP dan dua orang anggota MRP lain ke Polres Merauke untuk bertemu kapolres, tapi batal karena yang bersangkutan ternyata sudah pulang. Melalui ajudannya, kapolres bilang bertemu esok pagi saja. Pukul 08.46 keesokan harinya, mereka kembali menyambangi polres. Karena Kapolres lagi-lagi tak di tempat, rombongan menyerahkan surat kepada sespri kapolres dan memberikan nomor telepon untuk koordinasi.Sekitar pukul 11.00 sekelompok orang dari Buti berdemonstrasi di kantor Bupati menolak RDP MRP. Massa meminta agar otsus dilanjutkan dan pemekaran Provinsi Papua Selatan. Enam jam berikutnya, Fatubun cs memutuskan membatalkan RDP karena situasi tak kondusif dan mereka dalam pantauan kepolisian.
Pukul 22.00, polisi datang lagi ke hotel. Kali ini dengan membawa senjata laras panjang.
Pada 17 November, pukul 08.00 pagi, seorang pria berbaju merah dan bukan tamu duduk di depan hotel. Tim RDP curiga orang itu ialah intelijen. Dia hanya diam sekitar 30 menit lalu pergi. Satu jam berikutnya, ada dua orang yang diduga sebagai intelijen polres menyambangi penginapan. Mereka menanyakan ke pihak hotel soal jumlah dan penghuni kamar. Lantas mereka angkat kaki.
Pukul 10.00, ketika Fatubun sedang duduk di depan hotel, Kapolres Merauke bersama anak buahnya datang. Beberapa dari mereka membawa senjata laras panjang. Mereka menggeledah hotel dan kamar tim RDP. Saat itulah Fatubun ditangkap. “Sebelum menangkap saya, kapolres bertanya asal, pekerjaan, [serta] kepentingan saya di Merauke. Mereka minta KTP saya,” katanya.
Fatubun dimasukkan ke mobil Dalmas, sementara barang bawaannya dijadikan barang bukti. “Di mobil Dalmas, saya melihat Koordinator Tim RDP MRP, dua staf MRP, dan seorang peserta diborgol seperti saya.” Ia dan rekan-rekannya diinterogasi dan baru dibebaskan pada 18 November sekira pukul 16.45.
Kapolres Merauke AKBP Untung Surianata menyatakan dalam penggeledahan pada pagi jelang siang tanggal 17 November, ia dan rombongan menemukan sebuah pisau. “Lalu kenapa kami tangkap mereka? Karena ada buku makar, buku untuk mengajak merdeka di berbagai tempat, yang buku kuning itu,” ujar Untung kepada reporter Tirto, Kamis. Untung bilang buku itu sempat dibuang ke luar dari jendela hotel.Buku kuning itu berjudul ‘Pedoman Dasar Negara Republik Federal Papua Barat’, edisi pertama yang terbit Januari 2012, dikeluarkan oleh Sekretariat Negara Republik Federal Papua Barat. Kata sambutan buku ditulis oleh oleh Presiden NRFPB Forkorus Yaboisembut.
Berdasar berkas yang didapatkan reporter Tirto, ditemukan juga dokumen Polisi Negara Republik Federal Papua Barat Nomor: 001/KKP-NRFPB/IV/2012 yang ditandatangani oleh Wakil Kepala Kepolisian Negara Republik Federal Papua Barat Letnan Jenderal Fery Fernando Yensenem tentang Penunjukan Kepala dan Wakil Kepala Kepolisian Negara Bagian Ha-Anim.
“Sementara kita (Indonesia) punya pangdam, kapolda, bupati, dan gubernur. Karena mereka makar, kami tegas begitu tak apa. Ini bukan kasus maling ayam atau sandal jepit,” katanya, lalu mengatakan kalau apa yang mereka lakukan lebih baik karena di negara lain para terduga makar dapat ditembak mati.
Ada 54 orang yang ditangkap dan dibawa ke kantor polisi. Dia bilang “harusnya semua [jadi] tersangka karena ada buku itu.”
Dua dari mereka dinyatakan positif COVID-19 setelah dites. Ini alasan mengapa mereka akhirnya dibebaskan. “Kami juga punya tahanan. Nanti rawan.”
Pembungkaman Ketua MRP Timotius Murib mengkritik penangkapan ini. Ia bilang apa yang dilakukan polisi sama saja melawan lembaga dan program negara. MRP itu lembaga legal, pun dengan acara yang mereka selenggarakan. “Berarti secara tidak langsung kepolisian menolak [pembahasan] otonomi khusus karena menolak RDP,” katanya kepada reporter Tirto, Kamis.Murib tak tahu ihwal ‘buku kuning’ yang jadi alasan polisi menangkapi para peserta dan penyelenggara. Namun ia menduga buku itu milik peserta rapat, bukan milik anggota atau tim MRP. Peserta rapat saat itu adalah Barisan Merah Putih, organisasi pemuda serupa, serta perwakilan adat. Total peserta 35 orang per kabupaten. Sementara dari MRP yang hadir sekira 20-an orang. Sebanyak 2 anggota dan 9 staf sekretariat diciduk.
Sebelum penangkapan, tepatnya pada 14 November 2020, Kapolda Papua Irjen Pol Paulus Waterpauw menerbitkan maklumat bernomor Mak/1/Xl/2020 tentang Rencana Rapat Dengar Pendapat pada Masa Pandemi COVID-19. Maklumat itu melarang RDP diikuti lebih dari 50 orang; peserta wajib mengikuti protokol kesehatan (swab/PCR, 3M) dan menyediakan tempat cuci tangan atau cairan pembersih tangan; lalu bagi pelanggar akan ditindak oleh kepolisian.
“Maklumat ini dikeluarkan untuk mencegah penyebaran COVID-19, karena khawatir rapat yang mengundang berkumpulnya orang dapat menimbulkan klaster baru,” ujar Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol Ahmad Musthofa Kamal dalam keterangan tertulis, Sabtu (14/11/2020).
Bagi pengacara dari Perkumpulan Advokat HAM Papua Michael Himan, maklumat tersebut “sangatlah politis dan terlalu abstrak.” Ia mengatakan demikian untuk mengomentari bagian lain dari maklumat, angka 3 huruf c. Di sana disebutkan siapa pun yang terlibat RDP “dilarang merencanakan atau melakukan tindakan yang menjurus tindak keamanan negara, makar, atau separatisme atau pun tindakan lainnya yang dapat menimbulkan pidana umum atau atau perbuatan melawan hukum lainnya dan konflik sosial.”
Kepada reporter Tirto, Rabu (18/11/2020), ia mengatakan RDP bukan termasuk tindakan penyerangan, apalagi makar. Selama dilangsungkan secara damai, tindakan menyampaikan pendapat tidak dapat dianggap makar.
Lagipula maklumat itu bukan produk hukum yang tidak memiliki kekuatan hukum bagi orang luar. Maklumat sekadar informasi bagi internal Polri. “Pernyataan tersebut bertentangan dengan ketentuan Perkap 15/2007. Kepolisian tidak memiliki kewenangan untuk membuat peraturan yang berlaku eksternal.” Atas dasar itu Himan menyimpulkan maklumat, dan penangkapan, telah melanggar hak kebebasan berekspresi masyarakat Papua.
Kritik serupa disampaikan Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua Theo Hesegem, kepada reporter Tirto, Rabu. Ia pertama-tama mengatakan bahwa otsus pada dasarnya adalah bentuk tawaran politik yang diberikan pemerintah pusat terhadap aspirasi merdeka orang Papua. Pusat Data dan Analisa Tempo pada 2019 lalu menulis Otsus adalah “jalan tengah bagi kelompok pro kemerdekaan Papua dan pemerintah pusat.”
Ketika itu aspirasi untuk merdeka memang sedang tinggi-tingginya di tanah Papua. Keputusan Kongres Rakyat Papua (KRP) II yang diadakan Presidium Dewan Papua (PDP) di Gedung Olahraga Cenderawasih APO, Kota Jayapura, 29 Mei sampai 4 Juni 2000, bulat menyebut rakyat Papua ingin lepas dari Indonesia.
Maka, “bila ruang [ekspresi] masyarakat dilarang, tidak mengevaluasi atau RDP, [maka] isu Papua merdeka akan semakin menguat di akar rumput.”
- Impact of Event
- 1
- Gender of HRD
- Man, Other (e.g. undefined, organisation, community)
- Violation
- (Arbitrary) Arrest and Detention, Intimidation and Threats
- Rights Concerned
- Freedom of assembly, Freedom of association, Offline, Right to healthy and safe environment, Right to liberty and security, Right to self-determination
- HRD
- Minority rights defender
- Perpetrator-State
- Police
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Jan 14, 2021
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Oct 8, 2020
- Event Description
Dua jurnalis CNNIndonesia.com mengalami kekerasan fisik dan intimidasi saat meliput demonstrasi menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja, Kamis (8/10). Salah satunya, diduga dipukul oleh aparat kepolisian di kawasan Jakarta Pusat.
Selaku korban, Thohirin menjelaskan insiden kekerasan dan intimidasi yang dialaminya. Saat itu dia sedang bertugas meliput demo di sekitar Simpang Harmoni, Jakarta Pusat, Kamis malam. Dua jurnalis CNNIndonesia.com mengalami kekerasan fisik dan intimidasi saat meliput demonstrasi menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja, Kamis (8/10). Salah satunya, diduga dipukul oleh aparat kepolisian di kawasan Jakarta Pusat.
Selaku korban, Thohirin menjelaskan insiden kekerasan dan intimidasi yang dialaminya. Saat itu dia sedang bertugas meliput demo di sekitar Simpang Harmoni, Jakarta Pusat, Kamis malam.
Namun polisi tidak percaya. Mereka kemudian memaksanya mengeluarkan ponsel dan meminta membuka galeri. Thohirin terpaksan mengikuti permintaan tersebut.
"Satu-satunya yang bikin mereka jengkel, setelah membuka Hp, mereka melihat gambar saat aparat memiting massa aksi yang ditangkap," ujar Thohirin.
Polisi marah melihat foto tersebut dan menuduhnya seenaknya mengambil gambar. Namun Thohirin merasa tak ada yang salah dengan pengambilan gambar tersebut lantaran memang tugasnya sebagai jurnalis.
"Setelah itu, Hp saya diambil. Saya diinterogasi, dimarahi. beberapa kali kepala saya dipukul. Untung saya pakai helm," ujar Thohirin.
Bahkan salah satu polisi mengancam Thohirin akan membanting ponselnya.
"Kamu percaya enggak Hp kamu bisa saya banting," kata polisi seperti ditirukan Thohirin.
Thohirin sempat memohon agar polisi tidak merusak alat kerjanya tersebut. Namun anggota polisi lainnya memprovokasi untuk membanting ponsel. Seketika itu ponsel Thohirin dibanting.
"Saya pasrah. Saya tak sempat berpikir apa-apa lagi. Hp saya tinggal. Saya tidak kepikiran menjadikan itu barang bukti, lagipula kalau saya ambil itu Hp, saya bisa jadi akan lebih menerima intimidasi," ujarnya.
Setelah menerima intimidasi itu, Thohirin kemudian pergi dan mencari rekannya. Dia juga mengabari tim redaksi di kantor untuk mendapatkan bantuan.
Selain Thohirin, jurnalis CNNIndonesia.com di Surabaya, Farid Miftah Rahman, juga mengalami intimidasi saat meliput demo menolak Omnibus Law Cipta Kerja.
- Impact of Event
- 1
- Gender of HRD
- Man
- Violation
- Intimidation and Threats, Violence (physical)
- Rights Concerned
- Offline, Right to healthy and safe environment
- HRD
- Media Worker
- Perpetrator-State
- Police
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Jan 10, 2021
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Oct 8, 2020
- Event Description
Aksi unjuk rasa (unras) penolakan Undang-Undang Cipta Kerja oleh sekelompok mahasiswa di gedung DPRD Tarakan pada Rabu (8/10/2020) kemarin, berbuntut panjang. Dua wartawan yang meliput aksi itu menjadi korban penembakan air dari mobil Water Canon yang dikerahkan oleh Polres Tarakan di lokasi unras.
Akibatnya kedua wartawan Tarakan TV dan Radar Tarakan bernama Arif Rusman dan Ifransyah ini terjatuh dari pagar gedung dewan dengan ketinggian sekitar 3 meter.
Sehingga mengakibatkan luka-luka yang cukup serius yang diderita keduanya. Bahkan kamera foto dan video yang dibekali dari perusahaan pers masing-masing kepada dua wartawan itu mengalami kerusakan.
Atas dasar tersebut dan mengacu Undang-Undang Pers Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers serta bukti rekaman video yang beredar di media sosial, jurnalis Tarakan yang tergabung dalam PWI Kaltara dan IJTI Kaltara meminta Kapolres Tarakan AKBP Filol Praja Artadhira bertanggung jawab terkait kasus ini.
Hal ini diungkapkan Ketua PWI Kaltara Datu Iskandar Zulkarnaen yang didampingi Sekretarisnya Mansyur, berdasarkan hasil rapat koordinasi dari kedua organisasi yang diakui Dewan Pers ini, malam tadi.
“PWI dan IJTI Kaltara sangat menyesalkan adanya kejadian yang menyebabkan ada wartawan terluka saat bertugas dalam aksi unjuk rasa itu,” tegas Datu Iskandar melalui Mansyur, Kamis (8/10).
Menurutnya, wartawan dilindungi oleh UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. “Selain itu, dari rekaman video yang ada, itu bisa jadi awal jika terjadi pelanggaran prosedur oleh aparat,” ujarnya.
“Kami juga mengimbau agar rekan-rekan wartawan hati-hati dalam melakukan peliputan di lapangan, utamakan keselamatan. Tapi polisi juga harus memberikan perlindungan dan harus tahu yang mana wartawan dan mana pendemo,” tambah Mansyur.
Dituturkannya, keberadaan wartawan di atas pagar DPRD Tarakan bukan hal yang baru dilakukan oleh jurnalis dalam mengabadikan gambar maupun video aksi unras.
“Dari dulu sampai sekarang, posisi wartawan selalu ada di atas pagar itu. Mereka di atas pagar karena ada alasan tersendiri, pertama menghindari kerumunan massa, kedua karena ingin mengambil angle yang bagus. Semua polisi tahu posisi wartawan selalu ada di situ dalam setiap kegiatan unjuk rasa,” bebernya.
Sehingga dia menduga penyemporatan Water Canon yang mengarah ke wartawan ada unsur kesengajaan bukan kecerobohan semata.
“Hari ini (Kamis) kami akan sampaikan somasi kepada Kapolres Tarakan untuk segera ditindaklanjuti dan disikapi dengan serius. Dalam surat somasi ini kami tembuskan juga ke Presiden Joko Widodo, Ketua DPR RI, Kapolri, Kapolda Kaltara, Dewan Pers, dan Ketua PWI Pusat dan IJTI Pusat serta lainnya yang terkait,” ungkapnya.
- Impact of Event
- 2
- Gender of HRD
- Man
- Violation
- Use of Excessive Force, Violence (physical), Wounds and Injuries
- Rights Concerned
- Offline, Right to healthy and safe environment
- HRD
- Media Worker
- Perpetrator-State
- Police
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Jan 10, 2021
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Oct 8, 2020
- Event Description
Dua wartawan di Kota Palu, Sulawesi Tengah, dipukul oleh aparat kepolisian saat meliput aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja di depan kantor DPRD Sulteng , Kamis (8/10/2020).
Kedua wartawan media online sultengnews.com dianiaya saat ricuh demo susulan sekitar pukul 16.20 WITA. Saat itu, polisi mengejar massa aksi termasuk wartawan yang meliput.
Salah satu korban bernama Alsih Marselina, mengaku dipukul di bagian wajah hingga mengakibatkan luka memar. Alsih pun pusing seketika.
"Tadi di tengah situasi ricuh, saya disuruh tunduk. Setelah saya tunduk, langsung dipukul. Seketika saya merasa pusing," kata Alsih kepada rekan wartawan di Palu.
- Korban sudah memperlihatkan identitas kewartawanan
Alsih menjelaskan, korban lainnya yaitu Adhy Rifaldy mendapat hantaman pada bahu sebelah kanan. Mereka dipukuli, kata Alsih, bahkan setelah memberitahu profesinya sebagai jurnalis serta memperlihatkan kartu pers.
"Saya sudah pakai identitas wartawan, padahal saya sudah bilang ke polisi saya dari media, tapi oknum polisi masih memukul saya. Karena jelas yang memukul pakai baju dinas cokelat kepolisian," Alsih menerangkan. 2. Kedua korban pemukulan berada di barikade kepolisian
Alsih dan Adhy berada di barikade kepolisian saat bekerja melakukan peliputan. Kata Alsih, dia memilih berada di barisan aparat keamanan agar bisa terlindungi, namun nyatanya tidak demikian.
"Saat (itu) ada di tengah-tengah polisi saat meliput, karena saya harap berada di posisi itu bisa dapatkan keamanan, malah justru dipukul," keluh Alsih.
Atas tindak kekerasan yang dialami, keduanya telah melapor ke Propam Polda Sulteng dengan didampingi empat pengacara. Masing-masing Rachmy, Roy Marianto Babutung, Fikri Saleh, dan Mohammad Itfan Umar. 3. AJI Palu mengecam tindakan represif aparat kepolisian
Ketua Aliansi Jurnalis Independan (AJI) Kota Palu, Mohammad Ikbal, menilai kekerasan yang kembali menimpa jurnalis saat meliput aksi unjuk rasa, menjadi sinyalemen lemahnya pemahaman institusi Polri terhadap profesi jurnalis.
Padahal, kata Ikbal, pihaknya telah berulang kali menjalin komunikasi kepada kepolisian setempat, untuk meminimalisir potensi intimidasi hingga tindakan represi kepada jurnalis yang bertugas melakukan peliputan demonstrasi.
"Kita sangat mengecam tindakan kekerasan yang dilakukan oknum polisi. Padahal teman-teman yang jadi korban sudah teriak-teriak mereka adalah wartawan, tapi tetap saja dipukuli," kata Ikbal kepada IDN Times, Kamis malam.
"Apalagi yang dipukul ini jurnalis perempuan," geram Ikbal. AJI Palu, jelas Ikbal, akan mengawal kasus kekerasan terhadap dua jurnalis tersebut.
- Impact of Event
- 2
- Gender of HRD
- Man, Woman
- Violation
- Use of Excessive Force, Violence (physical), Wounds and Injuries
- Rights Concerned
- Offline, Right to healthy and safe environment
- HRD
- Media Worker
- Perpetrator-State
- Police
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Jan 10, 2021
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Oct 8, 2020
- Event Description
Aksi mahasiswa Tanjungpinang menolak UU Cipta Kerja yang berjalan tertib, tiba-tiba berakhir ricuh di Kantor DPRD Kepri, Kamis (8/10/2020).
Polisi membubarkan massa aksi dengan gas air mata, dan mobil water cannon.
Massa aksi pun berhamburan, ada pula yang diamankan pihak kepolisian.
Mahasiswa yang mendapat pukulan dari sejumlah oknum polisi.
Sementara dari pihak jurnalis, seorang stringer TV One yang meliput aksi juga terkena pukulan dari oknum polisi yang membubarkan massa.
Terdapat luka memar pada bagian bahu belakang wartawan tersebut.
Kapolres Tanjungpinang, M Iqbal menyampaikan, penyebab kericuhan itu karena massa aksi memaksa ingin bertemu Ketua DPRD Kepri, Jumaga Nadeak.
"Kita sampaikan, hanya bisa Wakil Ketua DPRD Kepri saja. Sebabnya, dengan adanya dua buruh hasil rapid-nya reaktif, Ketua DPRD sudah bertemu mereka, dan juga ikut diisolasi," ucapnya menceritakan kronologi kejadian.
Ia pun juga menyayangkan, massa aksi tidak bisa mengerti di tengah kondisi pandemi Covid-19 ini.
- Impact of Event
- 1
- Gender of HRD
- Man
- Violation
- Violence (physical), Wounds and Injuries
- Rights Concerned
- Offline, Right to healthy and safe environment
- HRD
- Media Worker
- Perpetrator-State
- Police
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Jan 10, 2021
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Oct 9, 2020
- Event Description
Mangir, Yuda, Samuel, Faisal, and Rizki are journalists based in Samarinda, East Kalimantan Province. On 9 October 2020, they were covering a students protest in Samarinda, demanding the release of their friends who were arrested a few days before for protesting against the legislation of the Omnibus Bill on Job Creation. During the protest, the students clashed with the police, and one student was kicked several times by a group of police officers. When the 5 journalist tried to record the incident, a policemen stomped on Mangir’s foot and demanded him to not record the police who brutally assault the protestor. The police tried to confiscate Mangir’s phone to delete his record. Yuda and Rizki tried to intervene, but the police threatened them. Samuel who also tried to intervene, when showing his id card as a journalist, got his hair grabbed and pulled by the police. The five journalist then leave the area.
- Impact of Event
- 5
- Gender of HRD
- Man
- Violation
- Censorship, Intimidation and Threats, Use of Excessive Force, Violence (physical)
- Rights Concerned
- Offline, Right to healthy and safe environment
- HRD
- Media Worker
- Perpetrator-State
- Police
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Jan 10, 2021
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Oct 8, 2020
- Event Description
Pemimpin Redaksi Suara.com, Suwarjono mengatakan, jurnalisnya yang bernama Peter Rotti mengalami kekerasan dari aparat kepolisian saat meliput aksi demo UU Cipta Kerja di kawasan Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat pada Kamis (8/10).
Peristiwa itu terjadi sekitar pukul 18.00, saat Peter merekam video aksi sejumlah oknum aparat kepolisian mengeroyok seorang peserta aksi di sekitar halte TransJakarta Bank Indonesia. Pada saat itu, Peter berdua dengan rekannya yang juga videografer, yakni Adit Rianto S melakukan live report via akun YouTube peristiwa aksi unjuk rasa penolakan Omnibus Law.
"Melihat Peter merekam aksi para polisi penganiaya peserta aksi dari kalangan mahasiswa, tiba-tiba seorang aparat berpakaian sipil serba hitam menghampirinya," ujar Pemimpin Redaksi Suara.com, Suwarjono dalam keterangan resmi suara. Dikutip jakselnews.com dari Warta Ekonomi.
Lalu, disusul 6 orang polisi yang belakangan diketahui anggota Brimob. Para oknum polisi itu meminta kamera Peter, namun Peter menolak sambil menjelaskan bahwa dirinya jurnalis yang sedang meliput.
para polisi bersikukuh dan merampas kamera jurnalis video suara.com milik Peter. Lalu ia diseret sambil dipukul dan ditendang oleh segerombolan polisi tersebut.
Meski sudah mengenakan kartu identitas pers, Peter mengaku dilarang merekam.
"Saya sudah jelaskan kalau saya wartawan tetapi mereka polisi tetap merampas dan menyeret saya. Tadi saya sempat diseret dan digebukin, tangan dan pelipis saya memar," kata Peter melalui sambungan telepon. Dikutip Jakselnews.com dari Jurnal Garut berjudul Seorang Jurnalis di Jakarta Diintimidasi Aparat Saat Meliput Demo Tolak Omnibus Law
Setelah kamera Peter dirampas, memori yang berisi rekaman video liputan aksi unjuk rasa mahasiswa dan pelajar di sekitar patung kuda, kawasan Monas, Jakarta itu diambil polisi. Namun kamera dikembalikan kepada Peter.
"Kamera saya akhirnya kembalikan, tetapi memorinya diambil sama mereka," ujar Peter.
- Impact of Event
- 1
- Gender of HRD
- Man
- Violation
- Censorship, Intimidation and Threats, Violence (physical), Wounds and Injuries
- Rights Concerned
- Offline, Right to healthy and safe environment
- HRD
- Media Worker
- Perpetrator-State
- Police
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Jan 10, 2021
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Oct 21, 2020
- Event Description
Unjuk rasa damai tolak Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja di Kota Medan berujung ricuh, Selasa (20/10/2020) petang. Massa aksi dibubarkan paksa oleh aparat kepolisian dalam perjalanan untuk pulang.
Sejumlah orang dikabarkan ditangkap. Massa juga sempat ditembaki dengan peluru gas air mata hingga konsentrasinya terpecah. Massa yang berjumlah ratusan pun terpaksa bubar karena tindakan represif itu.
Massa yang berjumlah lebih dari 200 orang itu mengatasnamakan diri dari Akumulasi Kemarahan Buruh dan Rakyat (AKBAR) Sumut dan Suara Rakyat Medan (Suram). Massa terdiri dari mahasiswa, buruh dan para pegiat.
“Di lapangan kami berkoordinasi dengan kawan-kawan dari Suara Rakyat Medan yang sepakat bergabung dengan kami. Dari awal aksi berjalan tertib. Kami hanya ingin mengekspresikan penolakan Omnibus Law dengan teatrikal dan puisi,” ujar Martin Luis, Koordinator AKBAR Sumut di Kantor LBH Medan, Selasa malam.
Sejak aksi dimulai, aparat kepolisian memang terus berdatangan ke kawasan itu. Mulai dari pasukan sabhara ber-trail kemudian petugas Brimob lengkap dengan mobil water cannonnya.
- Polisi diduga bubarkan paksa dengan merangsek masuk dengan trail ke arah massa
Sekitar pukul 17.00 WIB, polisi terus mengingatkan massa untuk membubarkan diri sebelum pukul 18.00 WIB. Polisi meminta massa bubar karena dianggap akan melewati batas waktu yang ada di dalam aturan.
Menjelang pukul 18.00 WIB. Massa melakukan longmarch untuk membubarkan diri menuju Kampus Institute Teknologi Medan (ITM). Sepanjang mereka longmarch, aparat kepolisian mengawal di belakang massa. Saat itu juga tindakan intimidasi mulai bermunculan. Hingga akhirnya kericuhan pecah di persimpangan gedung London Sumatra.
“Jadi menjelang pukul 18.00 WIB, kami cukup kooperatif dengan kepolisian dengan membubarkan diri. Ketika kita longmarch menuju kampus ITM, justru pihak kepolisian itu melakukan, menabrakkan sepeda motor trail dan ketika itu juga disusul dengan tembakan gas air mata dari kepolisian,” ujar Martin.
Massa yang terpecah konsentrasinya berlarian. Sebagian berlari ke arah Kantor LBH Medan. Sebagian lagi berlarian ke arah Jalan Balai Kota.
“Kita juga sempat melihat ada massa yang ditangkap oleh pihak kepolisian. Kita mulai long march, kita sudah melihat polisi melakukan provokasi dan intimidasi terhadap massa aksi perempuan yang membuat border atau pembatas barisan massa aksi,” ujar Martin. 2. Martin: Kekerasan dan intimidasi terhadap massa aksi jadi bukti pemerintah anti kritik
Martin dan lembaga yang tergabung di AKBAR Sumut mengecam aksi kekerasan dan intimidasi itu. Kata Martin ini adalah upaya pemerintah membungkam gerakan rakyat. Kemudian, kekerasan dan intimidasi itu disebut sebagai wujud pemerintahan yang anti kritik.
“Peserta aksi hari ini sangat mengecam pihak kepolisian yang membubarkan rakyat Sumut untuk menolak Omnibus Law. Ini adalah bukti bahwa pemerintah melakukan penggembosan terhadap gerakan rakyat yang mengekspresikan sikap politik terhadap kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat,” ujar Martin. 3. Tetap unjuk rasa sampai Omnibus Law dibatalkan
Meski mendapat tindakan represif aparat, AKBAR Sumut akan tetap melakukan unjuk rasa. Mereka menilai, Omnibus Law bukanlah aturan yang berpihak kepada rakyat. Apalagi, Undang-undang Cipta Kerja itu juga diduga melanggar prosedur dalam pembuatannya.
“Apa yang kita dapatkan hari ini, tentu tidak menyurutkan gerakan kita untuk menolak Omnibus Law. Kami akan terus berunjuk rasa dengan turun ke jalan, sampai memang Omnibus ini dibatalkan pemerintah,” ujarnya.
Sampai saat ini, massa masih berkumpul di LBH Medan. Mereka masih melakukan pendataan terhadap massa yang diduga ditangkap oleh pihak kepolisian. Beberapa massa juga mendapat luka karena aksi represif. Bahkan ada massa yang tangannya harus dibalut perban karena terkena peluru gas air mata.
Sampai sekarang, belum ada komentar resmi dari pihak kepolisian terkait pembubaran paksa itu. Kapolsek Medan Barat Kompol Afdhal Junaidi yang dikonfirmasi enggan memberikan jawaban. Dia mengarahkan awak media kepada Bagian Humas Polrestabes Medan. Namun saat dihubungi, pihak Humas Polrestabes Medan juga tidak menanggapi.
- Impact of Event
- 1
- Gender of HRD
- Other (e.g. undefined, organisation, community)
- Violation
- (Arbitrary) Arrest and Detention, Violence (physical)
- Rights Concerned
- Freedom of association, Offline, Right to healthy and safe environment, Right to liberty and security
- HRD
- Labour rights defender, Student
- Perpetrator-State
- Police
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Jan 10, 2021
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Oct 8, 2020
- Event Description
Aksi Demonstrasi menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja di Gedung Negara Grahadi Surabaya, pada Kamis lalu (8/10/2020) menyisakan pengalaman buruk bagi EA, seorang mahasiswa yang juga jurnalis kampus di Kota Pahlawan itu. Ia mengaku mendapat tindakan represif dari aparat.
Kepada CNNIndonesia.com EA menuturkan peristiwa itu berawal ketika dirinya meliput aksi unjuk rasa mahasiswa di Gedung Grahadi.
Semula berjalan kondusif. Namun jelang sore hari, bentrokan pecah antara massa dengan aparat. Gerbang sisi barat Grahadi jebol, disusul sisi timur beberapa jam setelahnya.
Aksi saling lempar pun tak terhindarkan. Massa melempari aparat dengan botol, batu dan kaca serta benda lainnya. Aparat kemudian dibalas dengan menembakkan gas air mata dan semprotan water canon.
Di tengah kericuhan tersebut, EA yang berada di halaman Grahadi terus berupaya mendokumentasikan semua yang terlihat sepanjang mata memandang sembari berlindung di balik pepohonan.
EA lalu mendapati sejumlah aparat kepolisian menangkap paksa para peserta aksi. EA lantas mendokumentasikannya.
“Saat kericuhan saya mendokumentasikan semua yang terjadi. Ada aparat kepolisian yang menangkap massa, saya juga mendokumentasikannya,” kata EA, Rabu kemarin (14/10/2020).
Tiba-tiba seorang polisi kemudian menghampiri EA. Aparat tersebut menanyai dari mana dia berasal.
EA menjelaskan bahwa dirinya adalah mahasiswa sekaligus jurnalis kampus. Ia juga memperlihatkan kartu pers serta seragam yang ia kenakan. Namun polisi itu makin mengintimidasinya.
“Saya lupa satuannya tapi dia berseragam. Dia memaksa saya menghapus foto dan video di kamera saya,” kata EA.
EA terpaksa menuruti permintaan petugas tersebut untuk menghapus hasil jepretannya.
“Setelah mau menghapus, tapi tiba-tiba kamera saya disita, ada [polisi lain] yang bilang, ‘bawa ke belakang saja’,” tambahnya.
EA kemudian ditangkap dan Dibawa ke selasar belakang Gedung Grahadi bersama ratusan peserta aksi lain yang juga ditangkap.
Saat diamankan, seorang polisi tiba-tiba menendang wajah EA. Akibatnya bibir dan matanya memar.
“Saya ditendang pas bibir kanan bawah, pas masih pakai masker,” ucapnya.
EA mengatakan dirinya dan ratusan massa lain juga dipaksa untuk membuka baju. Diiringi pukulan dan tendangan ke bagian kepala.
Polisi juga mengumpulkan peserta aksi yang tertangkap dalam satu area, tanpa menerapkan protokol kesehatan, seperti menjaga jarak. Beberapa pedemo pun tak lagi mengenakan masker.
“Setelah beberapa lama baru ada polisi yang memberi masker,” kata EA.
EA bersama ratusan peserta aksi lainnya lalu digelandang ke Markas Kepolisian Daerah Jawa Timur (Polda Jatim) dengan truk. Dalam proses saat hendak naik ke truk, polisi lagi-lagi memukuli tubuh mereka, kali ini dengan rotan.
“Kami disuruh Jalan jongkok, saat mau menaiki truk, kami dipukul dengan rotan, di badan,” ujar dia.
Sesampainya di Mapolda Jatim, mereka ditempatkan di sebuah lapangan dekat Direktorat Resesre Kriminal Umum. Polisi kemudian kembali memukuli massa aksi dengan rotan. Termasuk EA sendiri.
Hingga malam hari, para pedemo tetap ditempatkan di lapangan terbuka, mereka tak diperkenankan istirahat dengan laik. Bahkan tanpa mengenakan baju, mereka dibiarkan tidur di lapangan, tanpa alas.
Massa kemudian menjalani pemeriksaan tanpa boleh didampingi oleh kuasa hukum dari LBH atau lembaga semacamnya. Alat komunikasi mereka disita. Sidik jari diambil. Mereka juga harus menjalani rapid test.
“Kami tidak bisa menghubungi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) atau keluarga, handphone kami disita. Kamera saya juga,” ucapnya.
Saat pemeriksaan, petugas kepolisian menjelaskan bahwa dirinya terancam dijerat Pasal 214 KUHP tentang melawan petugas dan Pasal 170 KUHP tentang perusakan. Padahal EA sama sekali tak melakukan dua hal itu.
EA kemudian dibebaskan pada Jumat (9/10/2020) malam. Kameranya tetap disita, alat komunikasinya lenyap entah kemana. Yang ia bawa pulang hanya perih dari luka penyiksaan aparat kepolisian.
“Bibir sebelah kanan saya luka, lebam juga. Pelipis mata sebelah kanan lebam. Pinggang bagian belakang juga masih berbekas rotan, luka,” ujarnya.
Petugas mengatakan kepada EA bahwa dirinya dibebaskan atas perintah dari Kapolda Jawa Timur. Petugas juga meminta agar massa menjadikan itu semua sebagai pelajaran.
Dikonfirmasi terkait dugaan penganiayaan dan tindakan kekerasan kepada para peserta aksi tersebut, Kepala Bidang Humas Polda Jatim Komisaris Besar Trunoyudo Wisnu Andiko menolak memberikan komentar.
“Tidak ada, tidak ada, sudah cukup. Sekarang kami fokus ke penyidikan,” kata Truno, kepada CNNIndonesia.com.
Berdasarkan catatan Polda Jatim, dalam aksi Tolak Omnibus Law Cipta Kerja Kamis (8/10) setidaknya ada 634 pedemo yang diamankan di Surabaya dan Malang. sebanyak 620 diantaranya dipulangkan, sedangkan 14 orang lainnya ditetapkan sebagai tersangka. Dugaan Pelanggaran Polisi
Sementara itu, LBH Surabaya menerima sejumlah aduan dari para demonstran yang sempat ditangkap oleh polisi usai aksi Kamis (8/10) lalu. Para pedemo mengaku mendapatkan perlakuan kekerasan dari aparat kepolisian saat proses penangkapan hingga ketika ditahan selama semalaman.
“Banyaknya dipukul di kepala dan di punggung. Ada yang masih berbekas, bahkan berdarah,” kata Kepala Bidang Kasus Buruh dan Miskin Kota LBH Surabaya, Habibus Shalihin.
Habibus pun meminta para korban tersebut untuk melakukan visum mandiri ke rumah sakit sebagai bukti ada tindak kekerasan yang mereka alami. Setelah itu, aduan tersebut akan diproses oleh LBH sebelum menentukan langkah selanjutnya.
Senada, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya mencatat setidaknya ada tujuh bentuk tindak kekerasan kepolisian selama menangani dan mengamankan aksi Tolak Omnibus Law di Surabaya.
“Pertama adalah aparat kepolisian [diduga] melakukan penangkapan secara sewenang-wenang kepada beberapa massa aksi yang baru akan melakukan aksi, kepada massa aksi yang tidak terlibat dalam perusakan dan penyerangan serta sedang dirawat di posko medis,” kata Koordinator KontraS Surabaya, Rahmat Faisal.
Kedua aparat kepolisian diduga juga melakukan tindak kekerasan kepada massa aksi yang menjadi relawan medis. Massa aksi tidak bersenjata dan massa aksi yang tidak melawan saat ditangkap.
Ketiga, kata Rahmat aparat kepolisian diduga melakukan penyerangan dan melakukan perusakan terhadap sekretariat PMKRI, yang digunakan untuk posko kesehatan selama aksi.
Polisi juga diduga melakukan intimidasi dan ancaman ke masyarakat serta jurnalis yang berupaya mendokumentasikan kerusuhan selama aksi. Hal itu dilakukan dengan cara merampas alat dokumentasi yang digunakan dan menghapus paksa hasil foto serta video.
Kelima, aparat kepolisian diduga menghambat akses informasi mengenai data pasti siapa saja dan berapa jumlah keseluruhan massa aksi yang ditangkap, termasuk status penahanannya. Tim advokasi jadi mengalami kesulitan dalam melakukan bantuan hukum.
“Pelanggaran keenam terkait aparat kepolisian yang hingga kemarin belum memberikan informasi secara detail jumlah jenis dan keberadaan barang-barang yang dirampas selama aksi,” ujarnya.
Ketujuh, aparat kepolisian diduga melakukan kekerasan dan tindakan tidak manusiawi kepada tersangka anak di bawah umur selama proses penangkapan.
KontraS menuntut pada Polri untuk mengakui bahwa aparat kepolisian telah melakukan tindak kekerasan, penangkapan, teror, perampasan, dan intimidasi kepada masyarakat umum, peserta aksi, dan jurnalis di Gedung Negara Grahadi.
“Kami juga meminta polisi untuk menyampaikan permohonan maaf pada pihak korban dan masyarakat atas tindakan tersebut. Kedua melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap kinerja seluruh anggota aparat Polda Jatim dan Polrestabes Surabaya,” ujarnya
Selain itu, menurut Rahmat, bagi aparat kepolisian yang terlibat dalam tindak kekerasan, mereka bisa diberhentikan secara tidak hormat sesuai dengan proses hukum yang berlaku.
“Terakhir, kami meminta untuk hak korban bisa dipenuhi dengan memberi kompensasi dan rehabilitasi yang layak demi kemanusiaan,” katanya.
- Impact of Event
- 1
- Gender of HRD
- Man
- Violation
- (Arbitrary) Arrest and Detention, Intimidation and Threats, Use of Excessive Force, Violence (physical)
- Rights Concerned
- Offline, Right to healthy and safe environment, Right to liberty and security
- HRD
- Student
- Perpetrator-State
- Police
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Jan 10, 2021
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Oct 7, 2020
- Event Description
Ratusan Mahasiswa Unima menggelar aksi menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja. Para mahasiswa berkumpul di titik depan gerbang kampus, Rabu (7/10).
Rencananya, para mahasiswa bakal melanjutkan menyuarakan Mosi Tidak Percaya ke kantor DPRD Minahasa. Namun masih di depan Poli klinik, para mahasiswa langsung dihadang pihak kepolisian.
Hal itu kemudian menimbulkan kericuhan antara mahasiswa dan kepolisian. Pasalnya, para mahasiswa yang hendak keluar kampus, dihadang pihak kepolisian. Kepolisian kemudian diduga melakukan tindakan represif dan mengangkut 17 mahasiswa yang sementara berdemo.
Sementara para mahasiswa lainnya sempat terjadi kejar-kejaran dengan kepolisian. Bahkan sejumlah mahasiswa sempat ada yang dipukul menggunakan kayu dari tiang-tiang panji mahasiswa. Karena sejumlah mahasiswa ada yang berusaha menghalangi polisi yang akan menangkap teman mereka.
“Kami hanya ingin menyuarakan Mosi Tidak Percaya Kami, tetap kenapa polisi datang menghalangi dan memukuli kami. Teman-teman kami bahkan ditangkap. Katanya mengayomi tapi kok malah mencelakai kami mahasiswa,” ungkap Hirmawan salah satu mahasiswa.
Sementara itu, Kapolres Minahasa AKBP Denny Situmorang SIK saat dikonfirmasi di nomor 0852438xxxx belum merespon hingga berita ini diturunkan.
- Impact of Event
- 17
- Gender of HRD
- Other (e.g. undefined, organisation, community)
- Violation
- (Arbitrary) Arrest and Detention, Violence (physical)
- Rights Concerned
- Freedom of assembly, Freedom of movement, Offline, Right to healthy and safe environment, Right to liberty and security, Right to Protest
- HRD
- Student
- Perpetrator-State
- Police
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Jan 10, 2021
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Oct 8, 2020
- Event Description
Sebanyak enam mahasiswa Universitas Pelita Bangsa (UPB) kritis usai bentrok dengan polisi saat aksi tolak Omnibus Undang-undang (UU) Cipta Kerja (Ciptaker) di Kawasan Industri Jababeka, Cikarang Jawa Barat, Rabu (7/10/2020) kemarin. Keenam mahasiswa tersebut harus menjalani perawatan di Rumah Sakit Central Medika Cikarang, Jawa Barat.
Salah satu korban bernama Budi Nasrullah, dia mengaku hidungnya patah dan dua giginya retak akibat menerima bogem mentah polisi. Mahasiswa yang juga mengalami luka yakni Nasrul Firmansyah. Bahkan ia harus menjalani operasi lantaran tulang kepalanya retak.
"Enam mahasiswa kritis. Saya sendiri hidung patah, gigi retak dua," ucap Nasrullah dengan suara serak kepada Tirto sambil menahan rasa sakit, Kamis (8/10/2020)
"Satu [Nasrul Firmansyah] masuk tahap operasi [Rabu, 7 Oktober] karena tulang kepalanya retak, dia yang kena tembak peluru karet," tambahnya.
Mantan Ketua BEM UPB Tahun 2017-2018 itu menceritakan ia bersama rekan-rekannya awalnya berkumpul di Kampus UPB Cikarang pukul 11.00 WIB untuk menggelar aksi tolak Omnibus Law UU Ciptaker menuju PT. Samsung. Dia mengklaim sebanyak 800-an massa aksi.
Budi saat itu menjadi orator mengarahkan ratusan massa aksi ke Kawasan Industri Jababeka 2, Cikarang. Setelah berorasi menyampaikan aspirasinya, mereka bergerak ke Kawasan Industri Jababeka 1. Tepat di depan PT. Tokai yang ada di Jababeka 1, sejumlah polisi mulai menghadang massa aksi.
"Terjadi bentrok, kami maju, mau melangkah, terjadi dorong-dorongan lah. Kami tidak main kontak fisik, hanya dorong, ternyata kami ditembaki peluru karet. Yang parah itu Nasrul langsung kena kepalanya karena dekat banget jaraknya," ucapnya.
Tubuh Nasrul pun terkapar di jalan, wajahnya terlihat penuh darah dan menodai almamater kampusnya yang berwana biru. Nasrul pun langsung dilarikan ke Rumah Sakit Central Medika Cikarang.
"Saya mau melerai, pasukan itu sudah mundur sambil menarik Nasrul, saya angkat tangan ke pihak polisi, saya balik badan ke mahasiswa, saya ditarik, dibawa ke kerumunan polisi, diseret, dipukuli," katanya.
Budi yang berstatus mahasiswa semester 10 itu mengaku dibawa ke mobil polisi sebanyak dua kali dan selalu menerima bogem mentah dari aparat.
"Seluruh badan dipukuli, dari pinggang ke kepala. Ganti-gantian polisi yang pukuli, banyak, enggak tahu jumlahnya berapa," tuturnya.
Tak lama setelah dipukuli, dia dibebaskan oleh polisi dan kembali ke barisan massa. Sekitar pukul 16.00 WIB, massa pun kembali ke kampus UPB.
"Saat ini tersisa saya dan Nasrul yang dirawat di Rumah Sakit karena butuh perawatan," tuturnya.
Dihubungi terpisah, Humas UPB Nining Yuningsih mengaku kondisi dua mahasiswanya yakni Budi Nasrullah dan Nasrul Firmansyah sudah membaik dan masih dilakukan perawatan di Rumah Sakit Central Medika Cikarang.
"Nasrul masih dirawat karena ada benturan sedikit di kepala. Dia dan Roy [Budi Nasrullah] masih dirawat," kata dia kepada Tirto, Kamis (8/10/2020).
Dia mengklaim pihak kampus UPB Cikarang telah merawat para mahasiswa yang ikut berdemo dengan baik. Sementara seluruh pembiayaan sejumlah mahasiswa yang dirawat, ditanggung oleh Polres Bekasi, Jawa Barat.
Nining menuturkan pihak Kampus UPB Cikarang belum bisa memberikan tuntutan kepada polisi atas tindakan kekerasan aparat yang membuat enam mahasiswanya dirawat.
"Yang penting anak-anak sembuh dulu, kalau memang kondisi gimana, nanti tinggal kesaksian anak-anak dan polisi, saya tidak ada di lapangan jadi kronologi tidak tahu," ucapnya.
- Impact of Event
- 6
- Gender of HRD
- Man, Other (e.g. undefined, organisation, community)
- Violation
- Use of Excessive Force, Violence (physical), Wounds and Injuries
- Rights Concerned
- Freedom of assembly, Freedom of movement, Offline, Right to healthy and safe environment, Right to Protest
- HRD
- Student
- Perpetrator-State
- Police
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Jan 10, 2021
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Sep 28, 2020
- Event Description
La Ode Muhammad Safaat, a justice-seeking activist for Randi-Yusuf, member of the Same Blood Student Alliance (AMS) victim of a shooting, was arrested by officers from the Directorate of Research and General Crimes of the Regional Police Southeast Sulawesi on Monday, (28/9/2020 ).
Before the arrest, he was recording the ruin of protester’s camps in front of Southeast Sulawesi District Police office that was ruined by a group of unknown people two weeks before. While documenting, he was stopped by a police and got his cell phone confiscated and the police deleted his recording of the ruins of the camps. A few moments later, he got arrested and taken to the police office because he made a Facebook post titled “Is there any Police from Southeast Sulawesi Police District that still have functioning brain?”
During the investigation, Faat stated that the police threatened to skin him as well as gouge his eyeballs. A police officer also kicked a chair beside Faat during the investigation as a form of intimidation toward him. He was released at around 18.45 WITA although the police still process his case in order to charge him criminally.
According to the Director of Investigation and General Crimes of Southeast Sulawesi Regional Police, La Ode Aries Elfatar, Safaat was interogated at the Regional Police Headquarters Office and released at 19.30 WITa. He was accused for assaulting the institution through his Facebook post about the investigation of Randi-Yusuf's case.
- Impact of Event
- 1
- Gender of HRD
- Man
- Violation
- (Arbitrary) Arrest and Detention, Intimidation and Threats
- Rights Concerned
- Online, Right to healthy and safe environment, Right to liberty and security
- HRD
- Student
- Perpetrator-State
- Police
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Nov 11, 2020
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Sep 24, 2020
- Event Description
Ribuan orang dari Petisi Rakyat Papua (PRP) Wilayah Meepago berkumpul untuk aksi tolak Otonomi Khusus Jilid II, Kamis (24/9/2020), sekira pukul 06.30 di daerah Siriwini, Karang Tumaritis, Universitas Satya Wiyata Mandala, Kalibobo, SP, dan Wadio/Wonerejo. Tempat tujuan aksi damai yakni kantor Bupati Kabupaten Nabire dan mereka telah mengirimkan surat pemberitahuan demonstrasi empat hari sebelumnya ke pihak Polres Nabire. Juru Bicara PRP Jefry Wenda mengatakan polisi tidak menerbitkan tanda terima surat. “Kami sadar tugas polisi untuk mengamankan jalannya aksi, tidak ada alasan membatasi aksi,” ucap dia ketika dihubungi Tirto, Jumat (25/9/2020). Saat aksi berlangsung, anggota TNI dan Polri datang untuk berjaga. Aparat berseragam dan bersenjata lengkap, mobil water canon pun dikerahkan, mereka datang lebih dahulu ketimbang massa. Begitu demonstran datang, polisi mulai menangkap sebagian massa. “Sekitar 100 orang dibawa ke Polres Nabire. Kesalahan polisi, dong tak tahu kalau ada barisan massa yang cukup besar, ribuan [orang datang] dari arah SP hingga Wadio. Mereka longmarch,” jelas Jefry. Ada polisi, lanjut dia, yang merampas ponsel massa, mengancam, dan pemukulan ‘yang tidak parah’. Mengetahui rekannya ditangkap dan digiring ke kantor polisi, massa menyambanginya. Mereka membatalkan orasi di depan kantor bupati. Kehadiran massa ke Polres Nabire guna meminta kepolisian melepaskan kawan-kawannya. Perwakilan massa dan polisi bernegosiasi. Hasilnya, di depan markas polisi itu demonstran yang juga ditemani oleh kepala-kepala suku setempat, dipersilakan berorasi dan membacakan sembilan tuntutan yang isinya, jika disarikan, yakni: Menolak perpanjangan Otsus Jilid II di Papua dan Papua Barat; memberikan rakyat Papua untuk menentukan nasib sendiri via referendum; penarikan aparat; juga mengutuk penembakan terhadap pendeta. Usai pembacaan tuntutan, 100 orang peserta aksi itu dibebaskan. Massa mulai membubarkan diri sekitar pukul 17.30. Jefry menyatakan para demonstran paham agar tak terprovokasi karena penangkapan, namun watak kepolisian ia sebut reaksioner dan arogan. “Berhadapan dengan mereka itu sudah konsekuensi kami.” Rencana aksi lanjutan tolak Otsus Jilid II akan berlangsung, belum diketahui waktu pastinya. Menurut Jefry, rakyat perlu berekspresi karena otsus di sana dianggap tak bermanfaat, ‘hanya menciptakan raja-raja baru di Papua yang menindas orang Papua’. Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol Ahmad Musthofa Kamal menyangkal ada penangkapan massa. “Tidak ada. Mereka pasca-orasi di Polres Nabire, bubar. Massa mau ke kantor bupati, karena bupati tidak ada, maka massa diarahkan ke polres dan temu beberapa tokoh,” ucap dia ketika dikonfirmasi Tirto, Jumat (25/9). Sementara, berdasarkan keterangan tertulis dari Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua pada 23 September, ada tujuh demonstran yang ditangkap dalam aksi serupa di Timika yaitu Petrus Aim, Fredy Yeimo, Ardi Murib, Dorlince Iyowau, Melvin Yogi, Penehas Nawipa, dan Deborius Selegani. Demonstrasi damai itu dibubarkan paksa oleh polisi. Kepala Sekretariat United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Markus Haluk menyatakan kurang dari satu pekan ini banyak rentetan pelanggaran yang menimpa orang Papua, seperti penembakan yang berakibat kematian Pendeta Yeremia Zanambani di Hitadipa; aparat gabungan TNI-Polri merazia KTP dan kartu mahasiswa terhadap mahasiswa Papua di asrama Kota Manado, Tomohon.dan Tondano; maupun pengepungan dan intimidasi dari ormas di Kota Makassar bagi pendukung Petisi Rakyat Papua. Markus berpendapat, selama 57 tahun (1963-2020) Indonesia menduduki Papua, ruang demokrasi dibungkam dengan hukum dan senjata militer. ”Pembunuhan terhadap rakyat dan bangsa Papua terjadi depan mata rakyat pun selalu disangkal dan dianggap hal biasa. Nyawa manusia Papua dianggap benda yang tidak ada nilainya,” kata dia dalam keterangan tertulis, Jumat (25/9).
- Impact of Event
- 1
- Gender of HRD
- Other (e.g. undefined, organisation, community)
- Violation
- (Arbitrary) Arrest and Detention, Violence (physical)
- Rights Concerned
- Freedom of assembly, Offline, Right to healthy and safe environment, Right to liberty and security
- HRD
- Community-based HRD, Minority rights defender
- Perpetrator-State
- Police
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Nov 11, 2020
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Sep 29, 2020
- Event Description
Perkumpulan Advokat HAM Papua (PAHAM) mengecam tindakan aparat gabungan TNI dan Polri membubarkan paksa demonstrasi mahasiswa Universitas Cenderawasih, Papua, Senin (28/9) kemarin. Pembubaran demonstrasi oleh disebut sebagai kejahatan terhadap hak warga negara menyampaikan pendapat di muka umum.
"Pembatasan dan Pembubaran paksa aksi mahasiswa Uncen yang dilakukan oleh aparat gabungan Polri dan TNI pada aksi penolakan Otonomi Khusus mahasiswa Uncen pada 28 September 2020 di Kampus Uncen adalah tindakan kejahatan," kata advokat PAHAM, Gustaf Kawer dalam keterangan resmi yang diterima CNNIndonesia.com, Selasa (29/9).
PAHAM menyebut pembubaran paksa oleh TNI dan Polri itu diwarnai aksi kekerasan dan penembakan terhadap para demonstran.
Gustaf mengingatkan bahwa Undang Undang melarang siapapun membubarkan demonstrasi secara paksa, sebagaimana diatur Pasal 18 ayat (1) dan (2) UU N 09/1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, bawah.
Beleid pasal tersebut mengancam pidana satu tahun penjara kepada siapapun yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, menghalang-halangi hak warga negara menyampaikan pendapat di muka umum yang telah memenuhi ketentuan undang-undang.
PAHAM membeberkan kronologi pembubaran demonstrasi mahasiswa Uncen oleh TNI dan Polri kemarin. Kawer menuturkan unjuk rasa ini digelar di Kampus Uncen Abepura dan Kampus Uncen Waena, oleh mahasiswa yang tergabung dalam Front Mahasiswa dan Rakyat Papua.
Awalnya mahasiswa bertujuan melakukan longmarch aksi penolakan Otonomi Khusus jilid II ke Kantor Gubernur Papua.
Sekitar pukul 09.00 WITa mahasiswa telah berkumpul dan melakukan orasi penolakan Otsus, serta menyerukan referendum. Aksi di Kampus Uncen Waena, kata Gustaf, mendapat penjagaan ketat oleh aparat gabungan polisi dan TNI,
"Aparat melarang mahasiswa melanjutkan aksi dan memaksa mahasiswa untuk bubar dari tempat aksi. Sementara aksi di Kampus Uncen Abepura dibubarkan paksa oleh aparat gabungan Polisi dan TNI," kata Gustaf.
Menurut Gustaf pembubaran paksa di Kampus Uncen Abepura terjadi sekitar pukul 10.50 WITa. Aparat disebutnya membubarkan paksa dengan cara memukul para mahasiswa peserta demonstrasi.
Tindakan aparat itu dibalas mahasiswa dengan melemparkan batu. Dalam suasana ricuh itu, Gustaf menyebut polisi melepaskan tembakan dan mengejar mahasiswa.
"Massa demonstran mundur dan lari menyelamatkan diri, lalu kemudian masa aksi mahasiswa kembali berkumpul dan menduduki ruas jalan di samping kampus Fakultas Hukum Uncen Bawah," ujar Gustaf.
Ia menyebut dalam insiden ini polisi menangkap tiga mahasiswa yang merupakan penanggung jawab aksi yaitu Ayus Heluka, Salmon Tipogau dan Kristian Tegei.
"Polisi juga memukul 2 mahasiswa hingga terluka dan berdarah, yaitu Yabet Lukas Degei dan Selius Wanimbo. Yebet Lukas Degei dipukul di bagian kepala belakang hingga kepalanya terluka dan berdarah, sedangkan Selius Wanimbo dipukul dengan popor senjata di bagian badannya hingga terluka dan berdarah," imbuh Gustaf.
Polda Papua sendiri saat dikonfirmasi usai insiden terebut membantah telah melakukan pembubaran paksa aksi mahasiswa di sekitar Universitas Cendrawasih.
"Tidak ada bentrok, Polri bubarkan paksa setelah laksanakan negosiasi," kata Kabid Humas Polda Papua Kombes Ahmad Musthofa Kamal saat dihubungi CNNIndonesia.com.
Kamal enggan menjabarkan secara rinci aksi unjuk rasa yang terjadi itu, termasuk soal kondisi yang terjadi sehingga mengharuskan aparat keamanan membubarkan paksa para demonstran.
Dalam sejumlah video yang beredar di media sosial, puluhan aparat TNI/Polri terekam berjaga di sekitar Gapura Uncen atas di Jayapura.
Beberapa diantaranya terlihat mengenakan pakaian dinas lengkap dengan pelindung tubuh dan helm. Kendaraan taktis milik kepolisian dan beberapa aparat yang membawa senjata pelontar gas air mata juga terlihat terparkir di lokasi unjuk rasa.
Video lain juga menunjukkan massa aksi mulai kocar-kacir usai terdengar beberapa kali suara letupan yang terdengar seperti tembakan. Meski demikian, Kamal enggan menjawab soal dugaan suara tembakan itu dalam unjuk rasa.
Pembubaran paksa oleh aparat juga disebut PAHAM telah melanggar SOP pengendalian aksi masa damai (Hijau) sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Peraturan Kapolri No 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Masa.
"Aksi mahasiswa ini masih dalam situasi tertib atau damai (hijau) yang mestinya dalam penanganan polisi tidak melakukan pembubaran paksa, pemukulan dan penembakan," ucap Gustaf.
"Tindakan yang dilakukan oleh kepolisian adalah melakukan pengawalan dan pengawalan, melakukan negosiasi dan perundingan, sebagaimana diatur dalam huruf a sampai m pasal 8. Sebaliknya bukan polisi melakukan pembubaran paksa dan penembakan seperti yang terjadi dalam kasus ini," imbuhnya.
Atas tindakan paksa aparat gabungan, PAHAM mendesak pemerintah menghentikan segala bentuk pembatasan hak menyampaikan pendapat warga dan kekerasan terhadap warga.
PAHAM juga meminta Kapolri dan Panglima TNI mengubah pendekatan kekerasan dalam penegakan hukum dan Keamanan di Papua.
"Kapolri segera mengevaluasi kinerja Kapolda Papua, Kapolresta Jayapura dan Kapolsek Abepura dan mengganti dengan polisi Papua yang lebih profesional," kata Gustaf.
- Impact of Event
- 6
- Gender of HRD
- Man
- Violation
- (Arbitrary) Arrest and Detention, Violence (physical), Wounds and Injuries
- Rights Concerned
- Freedom of assembly, Offline, Right to healthy and safe environment, Right to liberty and security
- HRD
- Student
- Perpetrator-State
- Police
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Nov 11, 2020
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Sep 17, 2020
- Event Description
The demonstration held by students of the HMI (Islamic Student Association) Bogor Branch in front of the gate of the Bogor Regency Government Office Complex (Pemkab) on 17 September 2020 was violently dispersed by local Satuan Polisi Pamong Praja (Municipal Police under the command of local/district government). This was triggered by one of the officers who got emotional, because one of the students tore a letter not permitting the demonstration that the officer had shown. The students were protesting against the alleged maladministration surrounding the building of a local state hospital (Rumah Sakit Umum Daerah Leuwiliang). They demanded the project to be postponed. 6 Students were wounded on their head, shoulder, and arms from being beaten and kicked by the municipal police. Bogor’s vice regent later stated that the violence most likely occur because the municipal police were stressed out from carrying out their job in the middle of the pandemic.
- Impact of Event
- 6
- Gender of HRD
- Other (e.g. undefined, organisation, community)
- Violation
- Violence (physical), Wounds and Injuries
- Rights Concerned
- Freedom of assembly, Offline, Right to healthy and safe environment, Right to Protest
- HRD
- Student
- Perpetrator-State
- Police
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Nov 11, 2020
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Sep 29, 2020
- Event Description
Sembilan massa aksi dari Front Rakyat Papua (FRP) yang hendak melakukan aksi penolakan Otsus jilid II di Timika pada, Rabu (23/9/2020) ditangkap aparat kepolisian dari Polres Mimika, Papua.
Kepada Suara Papua, Helena Kobogau, aktivis Papua membenarkan adanya penangkapan kesembilan massa aksi tersebut oleh aparat kepolisian.
“Massa aksi baru kumpul di lapangan Timika indah, lalu mereka diangkut saja begitu,” katanya saat dihubungi suarapapua.com, Rabu (23/9/202020).
Sejauh ini katanya, kesembilan orang yang ditahan orang tersebut masih ditahan di polres. “Kemungkinan besok baru mereka akan dibebaskan,” ujar Kobogau.
Adapun kesembilan massa aksi yang ditahan pihak kepolisian, yaitu Petrus Aim, Fredy Yeimo, Ardi Murib, Dorlince Iyowau, Melvin Yogi, Penehas Nawipa, Deborius Selegani dan Demianus Magai.
Sumber suarapapua.com di Timika menjelaskan, awalnya aparat kepolisian menangkap empat massa aksi saat mereka mendahului yang lain di titik kumpul pada pukul 08.10.
“Saat penangkapan terjadi, cuma mereka empat saja. Mereka ditangak ketika menunggu massa aksi lainnya. Begitu tiba-tiba truk aparat datang dan langsung kasih naik mereka ke dalam truk itu,” bebernya.
“Pas masuk jam setengah 7 malam baru kami dapat info kalau teman-teman yang ditahan itu sebanyak sembilan orang.”
Ada delapan belas (18) pernyataan sikap yang dicantumkan FRP yang sesuai rencana dibacakan dalam aksi tersebut, terutama mengenai penolakan Otsus jilid II.
Dalam keterangan tertulis yang diterima suarapapua.com, Front Rakyat Papua (FRP) menyatakan Otsus sendiri lahir karena adanya tuntutan rakyat Papua saat itu yang menuntut kemerdekaan untuk memisahkan diri dari Indonesia.
Sementara dalam perjalanannya, Otsus sendiri tidak memberikan banyak manfaat yang dirasakan oleh orang Papua. Terhitung sejak diberlakukannya Otsus, banyak peristiwa yang terjadi di tanah Papua, mulai dari pembunuhan di luar hukum, kekerasan seksual, penyiksaan dan termasuk perampasan lahan.
Sementara, dikutib dari seputarpapua.com, Kapolres Mimika, Papua, AKBP I Gusti Gde Era Adhinata mengatakan, pihaknya mengamankan sembilan orang warga yang diduga hendak melakukan aksi demo damai di lapangan Timika Indah, Rabu (23/9/2020).
Dari sembilan orang tersebut, tujuh orang diamankan saat pagi hari, kemudian pada siangnya kembali diamankan dua orang. Kini mereka berada di ruang Satuan Intelkam Polres Mimika untuk diinterogasi secara intensif.
Sejumlah warga tersebut diamankan lantaran sebelumnya hendak melakukan aksi demo damai menolak Otsus jilid II, tapi rencana aksi demo itu tidak diizinkan aparat setempat.
“Pagi tadi ada sekitar tujuh orang yang kita imbau tapi mereka menolak, kita amankan untuk kita interogasi,” kata Kapolres saat ditemui di Lapangan Timika Indah.
“Kita akan interogasi mengapa dia melakukan seperti itu.Tentunya nanti setelah kita interogasi, kita beri imbauan-imbauan dan nanti kita akan pulangkan,” sambungnya.
- Impact of Event
- 9
- Gender of HRD
- Other (e.g. undefined, organisation, community)
- Violation
- (Arbitrary) Arrest and Detention
- Rights Concerned
- Freedom of assembly, Offline, Right to liberty and security
- HRD
- Community-based HRD, Minority rights defender
- Perpetrator-State
- Police
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Nov 11, 2020
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Aug 24, 2020
- Event Description
Kepolisian Daerah (Polda) Aceh, diminta harus taat pada aturan Dewan Pers, dalam menyelesaikan persengketaan antara Pimpinan Redaksi Metro Aceh, Bahrul Walidin dengan Direktur PT Imza Rizky Jaya, Hj Cut Rizayati. Sebagaimana diketahui, Direktur Utama PT Imza Rizky Jaya Rizayati, melalui penerima kuasa Rizaldi telah melaporkan Pemimpin Redaksi Metro Aceh Bahrul Walidin, ke Polda Aceh pada 24 Agustus 2020, dengan nomor laporan: STTLP/228/VIII/YAN.2.5/2020 SPKT, atas kasus pencemaran nama baik.
Ketua Umum Alinasi Jurnalis Indepen (AJI) Indonesia, Abdul Manan mengatakan, tudingan tentang pencemaran nama baik tersebut, bermula ketika Metro Aceh menayangkan berita yang berjudul “Hj Rizayati Dituding Wanita Penipu Ulung” pada 20 Agustus 2020.
“Berita itu ditulis berdasarkan keterangan dari korbannya Rizayanti dan sejumlah narasumber yang bertanggungjawab. Setelah beberapa saat berita tersebut tayang, maka Rizayati menghubungi Bahrul Walidin melalui pesan aplikasi WhatsApp dan mengaku keberatan diberitakan,” ujar Abdul Manan.
Abdul Manan menambahkan, direktur tersebut malah mengatakan kalau berita itu tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya, sementara hak jawab yang dikonfirmasi melalui telepon seluler sudah dimuat.
Bukan hanya itu saja, Rizayati diduga mengancam dengan melingkari foto-foto Bahrul Walidin dan ditambah kalimat bernada ancaman, salah satunya “Tiada Ampun Bagimu Wartawan Bodrex”.
“Maka kami meminta Polda Aceh agar melimpahkan kasus sengketa pemberitaan antara Direktur Utama PT Imza Rizky Jaya Rizayati dengan Pemimpin Redaksi Metro Aceh Bahrul Walidin ke Dewan Pers,” tutur Abdul Manan.
Tambahnya, mengapa harus melalui mekanisme Dewan Pers, karena sesuai dengan Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia tentang Koordinasi Dalam Perlindungan Kemerdekaan Pers pada 2017.
“Jurnalis dalam melaksanakan profesinya, mendapat perlindungan hukum sesuai yang tercantum dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Selain itu, orang yang melakukan kekerasan terhadap jurnalis baik fisik maupun verbal dapat dijerat pasal pidana,” Kata Abdul Manan.
- Impact of Event
- 1
- Gender of HRD
- Man
- Violation
- Judicial Harassment
- Rights Concerned
- Online
- HRD
- Media Worker
- Perpetrator-State
- Government
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Sep 18, 2020
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Aug 14, 2020
- Event Description
Juru Bicara Aliansi Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) Nining Elitos mengatakan lebih dari 100 orang diamankan polisi karena hendak bergabung dalam demonstrasi menolak Rancangan Undang Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja.
Demo GEBRAK digelar di Jakarta, tepatnya di depan Gedung DPR. Nining mengatakan, massa yang diamankan itu merupakan pemuda dan mahasiswa yang berangkat menggunakan bis dan kereta.
"Kami belum tahu persis, tapi informasi kami dapat lebih dari 100-an. Informasi kami dapatkan dari komunikasi Kapolda dan Komnas HAM ada lebih dari 30 orang diamankan di Polda Metro Jaya," kata dia di depan Gedung DPR/MPR, Jumat (14/8) malam.
Nining menyayangkan penangkapan itu. Sebab, kata dia, pihaknya sudah mengirim pemberitahuan bahwa aksi itu diikuti dari berbagai elemen masyarakat.
"Artinya, aksi ini adalah aksi yang legal yang sudah diberitahukan bahwa kelompok yang turun hari ini tidak hanya pemuda. Tapi mahasiswa, petani dan sektor-sektor lain, kami menegaskan sikap kami menolak RUU Omnibus," kata dia.
Kapolres Metro Jakarta Pusat Kombes Pol Heru Novianto membenarkan ada massa yang diamankan. Namun ia mengatakan peristiwa itu ditangani oleh Polda Metro Jaya.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus mengatakan ada sekitar 70-80 orang yang diamankan aparat. Orang-orang yang diamankan itu, kata dia, bukan merupakan kelompok buruh atau mahasiswa.
"Itu adalah orang-orang yang mau bikin kacau, dia bawa bendera anarko, batu, botol, dirazia pada saat mau demo, kita periksa bukan kelompok buruh dan mahasiswa. Kelompok sendiri," kata dia saat dihubungi, Jumat (14/8) malam.
Yusri bilang, setelah diperiksa dan diambil keterangannya, sebagian besar orang yang diamankan itu kemudian dipulangkan oleh aparat.
"Yang masih proses lanjut sekitar 8 orang karena ada unsur pidana misal bawa molotov, ketapel. Masih proses lanjut pemeriksaan," kata dia.
- Impact of Event
- 1
- Gender of HRD
- Other (e.g. undefined, organisation, community)
- Violation
- (Arbitrary) Arrest and Detention
- Rights Concerned
- Freedom of assembly, Offline, Right to liberty and security, Right to property
- HRD
- Labour rights defender, Student
- Perpetrator-State
- Police
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Sep 18, 2020
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Aug 24, 2020
- Event Description
Kasus dugaan intimidasi terhadap terhadap Arif, wartawan Radar Mandalika yang dilakukan oknum anggota Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Pemprov NTB saat meliput aksi demonstrasi, di depan kantor gubernur NTB pada Senin (24/8/2020) menuai reaksi berbagai pihak.
Ketua Forum Wartawan Pemprov dan DPRD NTB, Fahrul Mustofa menyesalkan kejadian yang menimpa jurnalis yang tengah melakukan tugas peliputan tersebut.
“Setelah menonton langsung aksi intimidasi itu, serta mendengar langsung informasi dari kawan-kawan yang menyaksikan kejadian itu, kami mengecam aksi brutal itu. Sekali lagi, itu enggak etis dan enggak boleh lagi terjadi,” tegasnya, Selasa (25/8/2020).
Menurut Fahrul, aksi aparat itu harus disikapi oleh kepala OPD yang bersangkutan. Bila perlu Sekda NTB HL Gita Ariadi selaku pembina kepagawaian harus menegur Kepala Satpol PP NTB.
Pasalnya, antara jurnalis dan pemerintah daerah adalah mitra strategis guna menyiarkan program-program pemerintah sekaligus mengawal jalannnya pemerintah daerah.
"Sesuai PP Nomor 53 tahun 2010 tentang disiplin PNS sudah diatur sangsi pada PNS/ASN yang melakukan pelanggaran disiplin itu. Maka, kami minta oknum Satpol PP itu agar ditindak dan diberikan sangsi sesuai peraturan perundang-undangan," tegasnya.
Terpisah, Sekretaris Forum Wartawan DPRD NTB dan Pemprov NTB, Iman Maqdis juga menyayangkan tindakan premenisme yang dilakukan oknum Satpol PP itu.
Padahal, menurutnya, tugas Satpol PP adalah menjaga ketertiban dan keamanan, serta bukan melakukan intimidasi.
"Kalaupun ada mediasi, sekali lagi itu sifatnya pribadi dan bukan kelembagaan. Kami minta agar persoalan ini akan terus berlanjut, sehingga ada efek jera agar tidak muncul persoalan serupa di kemudian hari," tandasnya.
Terkait masalah tersebut, sejumlah organisasi pers seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Mataram, PWI NTB, AMSI NTB hingga IJTI setempat juga menyesalkan tindakan represif tersebut.
Sebelumnya, Kepala Satpol PP NTB, Tri Budi Prayitno telah meminta maaf secara terbuka atas aksi represif dan yang dilakukan salah satu anggotanya.
Perlu diketahui, Arif mendapat diintimidasi kala meliput Aliansi Mahasiswa Peduli Palestina NTB di depan kantor Gubernur NTB, Senin (24/8/2020) lalu. Saat itu dia didorong dan diminta menghapus rekaman gambarnya oleh seorang oknum Satpol PP.
- Impact of Event
- 1
- Gender of HRD
- Man
- Violation
- Intimidation and Threats, Violence (physical)
- Rights Concerned
- Offline, Right to healthy and safe environment, Right to information
- HRD
- Media Worker
- Perpetrator-State
- Police
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Sep 18, 2020
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Aug 26, 2020
- Event Description
Dalam rentang waktu satu bulan terakhir, beberapa anggota masyarakat adat Kinipan, Kecamatan Batang Kawa, Kabupaten Lamandau Kalimantan Tengah ditangkap. Koalisi Keadilan untuk Kinipan menganggap penangkapan masyarakat adat Kinipan ini adalah upaya kriminalisasi membungkam perjuangan masyarakat adat Kinipan dalam perlawanan terhadap ekspansi perkebunan PT Sawit Mandiri Lestari (SML).
Rabu (26/8/2020) siang, pasukan kepolisian yang di antaranya berseragam hitam, lengkap dengan rompi, helm dan senjata laras panjang, dilaporkan menangkap paksa Effendi Buhing, Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan di rumahnya di Desa Kinipan, Kecamatan Batang Kawa, Kabupaten Lamandau.
Dari video penangkapan yang beredar, Effendi Buhing sempat menolak dirinya ditangkap. Karena menurut Effendi, penangkapan tersebut tidak jelas alasan dan persoalannya. Namun demikian, pihak polisi tetap memaksa menangkap dirinya.
Effendi terlihat diseret paksa oleh sejumlah personel kepolisian dari rumahnya menuju mobil berwarna hitam yang sudah disiapkan. Di dekat mobil tersebut, juga terlihat polisi berseragam warna hitam dan bersenjata api laras panjang. Penangkapan Effendi ini diiringi suara histeris warga dan keluarganya. Sejauh ini belum diketahui persoalan apa yang menyebabkan Effendi Buhing ditangkap.
Penangkapan Effendi ini menuai tanggapan keras dari Koalisi Keadilan untuk Kinipan. Koalisi yang di antaranya termasuk Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalteng, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalteng dan Save Our Borneo ini menyatakan sikap. Pertama, mengecam keras tindakkan represif aparat Kepolisian dari Polda Kalteng atas penangkapan Effendi Buhing di rumahnya pada Rabu, 26 Agustus 2020.
Koalisi juga mendesak Kapolda Kalteng segera membebaskan Effendi Buhing dan 5 warga Komunitas Adat Laman Kinipan lainnya yang telah ditangkap sebelumnya. Selanjutnya, Koalisi juga meminta agar upaya kriminalisasi terhadap tetua, tokoh, masyarakat adat dan pejuang lingkungan yang berjuang mempertahankan hak, hutan, wilayah adat dan ruang hidup mereka dari ancaman alih fungsi kawasan oleh PT SML dihentikan.
"Mendesak agar pemerintah melakukan evaluasi terhadap izin PT Sawit Mandiri Lestari yang beroperasi di wilayah adat Kinipan," kata Direktur Walhi Kalteng, Dimas N. Hartono, Rabu (26/8/2020).
Dimas mengatakan, pihaknya telah menyiapkan pendamping hukum untuk Effendi Buhing. Saat ini pendamping hukum yang ditunjuk tengah melakukan komunikasi dengan pihak kepolian terkait penangkapan Effendi.
Menurut Dimas, penangkapan Effendi, Riswan dan 4 warga Kinipan lainnya ini merupakan salah satu upaya kriminalisasi, agar masyarakat tidak melakukan penolakan terhadap kehadiran PT SML.
"Kita berharap polisi tidak sebatas melihat sisi ini saja. Tapi akar masalahnya ini yang harus dilihat. Masyarakat berupaya melindungi hak mereka, melindungi peninggalan nenek moyang mereka agar tidak dirusak atau dihilangkan oleh perusahaan. Apalagi kita ketahui bersama di lokasi tersebut potensi ulinnya masih sangat besar," kata Dimas.
Dimas mengatakan, berdasarkan catatan Walhi Kalteng, sejak 2005 hingga 2018 terdapat 345 konflik antara masyarakat dengan perkebunan kelapa sawit. Semua konflik tersebut rentan terjadinya kriminalisasi dan penangkapan terkait penolakan investasi yang ada di Kalteng.
"Kenapa ini bisa terjadi? Itu yang harus dilihat lebih mendalam. Kenapa masyarakat melakukan penolakan-penolakan. Karena hak mereka tidak diakui. Khususnya terkait di Kinipan itu sendiri adalah hak mereka dalam hal mengelola wilayah adatnya sendiri secara mandiri."
Sebelum Effendi Buhing ditangkap, ada 5 warga Kinipan lainnya yang juga ditangkap dan ditahan Polda Kalteng. Yakni Riswan, Desem, Yusa, Teki dan Embang. Mereka ditangkap dan ditahan di waktu yang berbeda.
Riswan ditangkap pihak Polda Kalteng satu hari menjelang peringatan kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-75, 16 Agustus 2020. Riswan dituduh mencuri alat pemotong kayu atau chainsaw yang digunakan para penebang ulin di areal perkebunan sawit PT SML.
Sedangkan Desem, Yusa, Teki dan Embang, dibawa ke Polda Kalteng beberapa pekan sebelum Riswan ditangkap. Kala itu keempatnya dibawa untuk dimintai keterangan. Namun belakangan, beberapa dari mereka ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Polda Kalteng dengan tuduhan yang sama dengan tuduhan yang dialamatkan kepada Riswan. Yakni dugaan tindak pidana pencurian dengan kekerasan, Pasal 365 KUHPidana.
Kasus Riswan
Terkait kasus Riswan, Ketua AMAN Kalteng, Ferdi Kurinianto dalam konferensi pers yang digelar pada Senin (24/8/2020) menjelaskan, Riswan ditangkap 3 pekan setelah mediasi antara komunitas adat Kinipan dengan PT SML gagal dilaksanakan di Kantor Camat Batang Kawa di Desa Kinipan, atau 2 bulan sejak kegiatan yang dituduhkan kepadanya.
Riswan yang sehari-hari bekerja sebagai Kasi Pemerintah Desa Kinipan ini ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik reserse kriminal umum Polda Kalteng dengan tuduhan tindak pidana pencurian dengan kekerasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 365 KUHP.
Tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang dituduhkan kepada Riswan tersebut merujuk pada kejadian 23 Juni 2020. Pada saat itu, warga Kinipan tengah berjaga di hulu Sungai Toin, untuk mempertahankan hutan adatnya, lalu mendengar suara mesin chain saw yang menjadi tanda masih adanya aktivitas penebangan dan pemotongan kayu ulin oleh para pekerja PT SML.
Riswan dan kawan-kawan, lanjut Ferdi, kemudian mendatangi dan menghentikan aktivitas tersebut. Sementera satu hari sebelumnya (22/6/2020) warga Komunitas Adat Kinipan berupaya menghentikan alat berat PT SML yang hendak masuk melakukan land clearing dan membabat sisa hutan Kinipan yang bahkan saat ini sudah masuk di areal bekas perladangan warga.
Padahal pada 22 Juni 2020 itu pula telah ada kesepakatan secara lisan antara perwakilan Humas Perusahaan dengan warga bahwa tidak ada lagi aktivitas lanjutan sementara menunggu perundingan pada 29 Juni 2020 di kantor Camat Batang Kawa.
"Jadi pada tanggal 22 Juni itu ada pertemuan antara warga dengan pihak perusahan di hutan. Ada lebih 50-an orang dari pihak perusahaan. Ada kesepakatan sebenarnya, bahwa tidak ada lagi pekerjaan selama menunggu kesepakatan musyarawah pada tanggal 29 Juni. Tapi nyatanya pada tanggal 23 Juni perusahaan bekerja. Begitulah yang akhirnya memunculkan respon dari warga untuk menahan mesin (chain saw) tersebut," ungkap Ferdi, Senin (24/8/2020).
Ferdi mengatakan, sejak 2012, Kinipan selalu menolak hadirnya investasi sawit di wilayah adat mereka. Pihak pemerintah desa dan tetua adat tidak pernah membubuhkan tanda tangan persetujuan untuk masuknya perusahaan perkebunan sawit skala besar di wilayah adatnya.
Penolakan masyarakat adat Kinipan tersebut kemudian menjadi konflik yang memanas dengan PT SML, terutama sejak perusahaan melakukan kegiatan land clearing dan pembabatan hutan pada awal 2018. Permintaan dan desakan warga Kinipan agar PT SML menghentikan aktivitas land clearing dan pemotongan kayu ulin, tak juga berhenti.
"Padahal warga Kinipan telah melakukan berbagai upaya untuk mencari keadilan. Mulai dari Pemerintah Kabupaten Lamandau dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, Komnas HAM, Kementerian ATR/BPN, KemenLHK, hingga 2 kali melakukan mediasi di Kantor Staf Presiden (KSP) di Jakarta. Namun upaya mencari keadilan atas sumber daya alam dan hak-hak mereka tak kunjung didapat."
Penangkapan dan penahanan warga Kinipan akhir-akhir ini, kata Ferdi, memperlihatkan watak otoritarian dan arogansi.
"Koalisi mengupayakan proses penangguhan penahanan kepada Riswan dengan dasar bahwa Riswan memiliki riwayat kesehatan, wasir yang cukup serius, sehingga dengan adanya penangguhan penahanan ini Riswan dapat menjalani proses perawatan untuk kesembuhan penyakitnya. Penangguhan penahanan ini akan memberi ruang bagi Riswan dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya sebagai perangkat Desa Kinipan," kata Ferdi.
Koalisi juga menyatakan, Komunitas Adat Kinipan merupakan pejuang, pahlawan lingkungan dan budaya yang berusaha untuk mempertahankan haknya dari upaya perampasan dan penghancuran oleh korporasi dan modal. Oleh sebab itu Negara semestinya melakukan upaya perlindungan bagi warga Kinipan dan memastikan terciptanya rasa aman bagi masyarakat adat Kinipan.
"Bukan sebaliknya malah melakukan tindakan-tindakan represif dan intimidatif atas perjuangan warga tersebut."
Koalisi juga meminta agar pemerintah harus segera menyelesaikan konflik Kinipan dengan PT SML melalui mekanisme yang sesuai dengan konteks masyarakat adat Laman Kinipan. Adil, jujur, terbuka serta mengedepankan asas sebagaimana yang tertuang dalam Pancasila.
Kemudian, pemerintah harus segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat dan Raperda Masyarakat Adat Kalimantan Tengah sebagai jaminan untuk memastikan masyarakat adat dan hak-haknya sebagai subjek hukum terlindungi secara konstitusional.
"Penangkapan Riswan bukan hanya bersifat individual, tapi ini adalah kasus kolektif komunitas adat Laman Kinipan yang dilatarbelakangi oleh konflik tenurial yang tak kunjung selesai antara komunitas adat laman Kinipan dengan PT SML."
Terkait 4 warga Kinipan lain yang juga ditahan Polda. Ferdi menjelaskan, sejauh ini pendampingan hukum terhadap keempat warga tersebut ditangani oleh Fordayak. Karena keempat warga tersebut adalah anggota pasukan Motanoi yang merupakan bagian dari Fordayak. Namun berdasarkan informasi yang didapat, beberapa di antaranya sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Kalteng.
Parlin Bayu Hutabarat, salah seorang kuasa hukum Riswan meminta penangguhan penahanan terhadap Riswan dapat segera dikabulkan. Karena apa yang dituduhkan bukanlah kejahatan luar biasa.
"Kami melihat ini bukan extra ordinary crime. Ini bagian dari perjuangan. Riswan meyakini apa yang dilakukan itu adalah mempertahankan hutan adat. Terlepas itu pendirian penyidik seperti apa jaksa seperti apa, tapi pendirian kami apa yang dilakukan klien kami adalah mempertahankan hutan adat," kata Parlin, Senin (24/8/2020).
Kabid Humas Polda Kalteng, Kombes Pol Hendra Rochmawan membenarkan kabar tentang penangkapan Effendi Buhing tersebut. Hendra mengatakan, penangkapan ini berawal dari 3 laporan PT SML.
"Pada prinsipnya Polda Kalteng profesional dalam menanggapi laporan polisi tersebut dengan bukti permulaan yang cukup sehingga perlu dilaksanakan penangkapan. Pada prinsipnya semua pihak mempunyai hak yang sama di muka hukum. Nanti dari penangkapan ini tentu ada pemeriksaan dan penyelidikan ini dapat memberi ruang jawab atas laporan tersebut," kata Kombes Pol Hendra Rochmawan, Rabu (26/8/2020).
Di kesempatan sebelumnya, saat ditanya tentang peluang penangguhan penahanan Riswan yang diajukan oleh pihak kuasa hukum Riswan, Hendra hanya mengatakan, pihaknya masih melakukan proses penyidikan terlebih dahulu.
Humas PT SML, Wendi, saat diminta konfrmasi, menyatakan tidak bersedia memberikan keterangan melalui sambungan telepon.
- Impact of Event
- 1
- Gender of HRD
- Man
- Violation
- (Arbitrary) Arrest and Detention, Judicial Harassment
- Rights Concerned
- Land rights, Right to fair trial, Right to healthy and safe environment, Right to liberty and security
- HRD
- Environmental rights defender, Indigenous peoples' rights defender, Labour rights defender, Land rights defender
- Perpetrator-State
- Police
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Sep 18, 2020
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Aug 26, 2020
- Event Description
Aksi mahasiswa Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) mendesak Bupati Blitar Rijanto bersikap tegas terhadap praktik tambang pasir (Galian C) ilegal dibubarkan sekelompok preman. Dengan berteriak kasar, massa yang datang dengan menumpang empat truk memaksa para aktivis mahasiswa menghentikan aksi unjuk rasa di Kantor Pemkab Blitar.
"Mereka berteriak-teriak dan inginnya kami membubarkan diri," ujar Ketua PMII Blitar Fathur Rohman, Rabu (26/8/2020).
Tidak diketahui pasti dari mana puluhan orang itu berasal. Dari penampilan dan tindak tanduknya yang kasar, kata Rohman, mereka seperti kelompok preman. "Sepertinya preman," ujar Rohman.
Gerombolan orang yang berjumlah lebih besar tersebut langsung membayangi massa aktivis mahasiswa yang berjumlah sekitar 50an orang. Begitu turun dari truk yang sepintas terlihat bekas pengangkut material pasir, mereka langsung menyatroni para aktivis mahasiswa yang tengah berorasi. Tidak hanya menghardik dan berteriak kasar.
Ada beberapa yang juga melakukan aksi melempar yang untungnya berhasil dihindari. "Intinya kami dipaksa bubar tidak melanjutkan demo," kata Fathur Rohman.
Tekanan massa tandingan yang berlangsung di Kantor Pemkab dan Polres Blitar tersebut tidak menyurutkan semangat para aktivis untuk terus menyuarakan aspirasi.
Puluhan aktivis PMII Blitar Raya mendesak Blitar Rijanto untuk bersikap tegas terhadap praktek tambang pasir liar (Galian C) yang marak di Kabupaten Blitar.
Para aktivis mendesak Pemkab segera menerbitkan regulasi yang jelas. "Kami tidak menuntut penutupan tambang. Tapi meminta ada regulasi jelas untuk penertiban dan pengelolaan," kata Fathur Rohman.
Dalam orasinya para aktivis menuding pemkab terkesan membiarkan praktik pertambangan ilegal. Bertahun tahun para penambang, yakni terutama dari kelompok pemodal, leluasa melakukan aktivitas ilegalnya.
Mulai di kawasan DAS Brantas hingga di wilayah Gunung Kelud, yakni di Kecamatan Kademangan, Sutojayan, Garum, Gandusari dan Nglegok, mayoritas penambang tidak ada yang berizin.
"Kalau pun ada yang berizin, setelah kita cek mereka hanya klaim," papar Fathur Rohman.
Tidak hanya merusak lingkungan, yakni terutama mata air dan pencemaran lingkungan. Aktivitas tambang liar dengan ratusan kendaraan pengangkut material yang berlalu lalang juga merusak jalan dan bangunan rumah warga.
Menanggapi aksi dengan dua massa yang bersitegang, Kabag Ops Polres Blitar Kompol Sapto Rachmadi mengatakan, polres hanya menerima surat pemberitahuan dari mahasiswa.
Sementara massa tandingan yang ternyata golongan para penambang pasir, kata Sapto tidak menyampaikan pemberitahuan. "Tidak sampai ada bentrokan dan kontak fisik. Mereka langsung bubar," ujar Sapto Rahmadi.
- Impact of Event
- 1
- Gender of HRD
- Other (e.g. undefined, organisation, community)
- Violation
- Intimidation and Threats, Violence (physical)
- Rights Concerned
- Freedom of assembly, Offline, Right to healthy and safe environment
- HRD
- Student, Youth
- Perpetrator-State
- Unknown
- Perpetrator-Non-State
- Unknown
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Sep 18, 2020
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Aug 14, 2020
- Event Description
“Bukannya mengadang para oknum tak dikenal ini, polisi malah seakan membiarkan mereka. Sekitar pukul 19.03 WIB massa aksi diserang oleh orang tak berseragam dari arah timur simpang tiga UIN dengan batu, tongkat, dan sebilah parang. Kami terpecah ke barat dan selatan lokasi, terdapat seorang anggota massa aksi yang terluka dan juga terjadi kerusakan pada mobil komando ARB,” tambah dia.
Dari laporan yang dia terima, terdapat satu korban yang mendapat tindak kekerasan. Lainnya mengalami luka lebam atas insiden yang terjadi pada Jumat petang itu.
Namun, massa aksi yang mendapat serangan dari oknum tak dikenal tak mendapat perlindungan aparat. Seakan, kata Lusi, mereka hanya membiarkan penyerang memukul mundur massa aksi Gejayan Memanggil ini dengan kekerasan.
Para demonstran pun sempat berkumpul kembali, tetapi Jalan Laksda Adi Sucipto, yang sebelumnya ditutup, telah dibuka oleh kepolisian. Pada pukul 19.30 WIB, mereka dipaksa mundur menuju titik awal di bundaran UGM.
“Dipaksa mundur, kami mendapat kekerasan fisik dari aparat selama perjalanan dari Jalan Laksda Adi Sucipto. Setidaknya ada tiga orang yang mendapat kekerasan selama kami kembali pukul 19.40 WIB,” jelas Lusi.
Akhirnya pada pukul 20.50 WIB, para pengunjuk rasa sampai di depan bundaran UGM dan menuntut polisi untuk membubarkan diri. Pada pukul 20.15 WIB, polisi berangsur bubar, dan 15 menit kemudian massa merapat ke gerbang UGM untuk evaluasi aksi.
Lusi menilai bahwa tindakan kekerasan orang tak dikenal dan tak ada perlindungan dari penegak hukum ini termasuk dalam metode pembubaran aksi. ARB menyebut, metode itu bukanlah hal baru, yang mana melibatkan pihak-pihak berseragam maupun tidak berseragam.
Kuatnya indikasi tersebut didasari atas pembiaran yang dilakukan oleh kepolisian terhadap pelaku penyerangan. Selain itu, pelaku penyerangan datang dari lokasi yang sama dengan titik kumpul polisi.
“Kami mengutuk keras tindakan praktik kekerasan dalam setiap penyampaian kebebasan berpendapat di muka umum. Juga terjadi politik impunitas dan penegakan hukum yang tumpul, ditandai dengan kegagalan penegak hukum memberikan rasa aman kepada korban kekerasan,” tegas Lusi.
- Impact of Event
- 1
- Gender of HRD
- Other (e.g. undefined, organisation, community)
- Violation
- Violence (physical)
- Rights Concerned
- Freedom of assembly, Offline, Right to healthy and safe environment, Right to Protest
- HRD
- NGO staff
- Perpetrator-State
- Unknown
- Perpetrator-Non-State
- Unknown
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Sep 18, 2020
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Aug 24, 2020
- Event Description
Tiga orang nelayan di Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel) melakukan protes terhadap kapal penambang pasir. Namun protes mereka itu berujung petaka.
Pada Minggu (23/8/2020) polisi menangkap tiga orang nelayan saat mereka melancarkan protes kepada kapal penambang pasir. Penangkapan ini juga diwarnai dengan penenggelaman kapal milik nelayan.
Tak terima dengan kejadian itu, pihak keluarga kemudian meminta bantuan hukum kepada LBH Makassar. Kepala Divisi Tanah dan Lingkungan LBH Makassar Edy Kurniawan membenarkan peristiwa tersebut.
"Ketiga nelayan (yang ditangkap) tersebut bernama Safaruddin, Faisal dan Baharuddin," kata Edy melalui keterangan tertulis yang diterima detikcom, Senin (24/8/2020).
Edy menuturkan peristiwa ini terjadi pada pukul 10.00 Wita saat kapal tambang pasir milik PT B menambang pasir di wilayah tangkap nelayan. Di area itulah para nelayan menggantungkan hidupnya.
"Akibatnya, para nelayan kehilangan hasil tangkapan karena lautnya langsung jadi keruh," beber Edy.
Merasa terganggu dengan aktivitas tambah karena air keruh, nelayan kemudian melakukan protes. Namun rencana tersebut tak sampai lantaran kapal penambang pasir itu dikawal oleh satu kapal perang dan empat kapal sekoci milik Direktorat Polairud Polda Sulsel.
Edy menerangkan seorang nelayan langsung didatangi dan ingin diborgol, namun yang bersangkutan menolak. Nelayan itu juga diancam, lepa-lepa atau kapal kecil miliknya ditenggelamkan.
"Beruntung nelayan berhasil menyelamatkan diri dengan melompat ke laut," beber Edy.
- Impact of Event
- 3
- Gender of HRD
- Man
- Violation
- (Arbitrary) Arrest and Detention, Judicial Harassment, Use of Excessive Force, Violence (physical)
- Rights Concerned
- Freedom of assembly, Offline, Right to healthy and safe environment, Right to liberty and security
- HRD
- Community-based HRD, Environmental rights defender
- Perpetrator-State
- Police
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Sep 18, 2020
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Sep 12, 2020
- Event Description
The South Sulawesi water and police unit have arrested three student journalists in Makassar while they were covering a protest to reject sand mining on Saturday, September 12. The authorities released them on Sunday, September 13. The International Federation of Journalists (IFJ) stands in solidarity with its affiliate the Alliance of Independent Journalists (AJI) Indonesia to demand an investigation into the arrest. The student journalists arrested were Hendra, the chairman of press student at the Hasanuddin University, Mansyur, the chief editor of CakrawalaIde at the Muslim Indonesia University, and Muhammad Raihan Rahman, who also a member of the CakrawalaIde publication.
The young journalists joined fishermen on their boat to protest sandmining on Kodingareng island. On the way back to Makassar, the boat was blocked by water and police unit vessels. Although the three student journalists showed their identity cards and a letter of assignment, the officers still arrested them. They were also reportedly intimidated and harassed before being escorted to the police office.
Sand mining is a controversial activity in Indonesia. Sand mining is a controversial activity in Indonesia. The operations of sand mining has impacted the fishermen and the coastal communities in the country.
The Indonesian Safety Committee for Journalists, which also supported by AJI Indonesia as its member, has condemned the arrest and remind the police that journalists are protected by the Press Law. According to the Press Law, everyone found guilty in obstructing journalists’ works will be sentenced to jail for two years at the maximum or charged with a maximum fine of IDR500 million or US$33,000.
“The Committee calls the police to investigate the officers who obstructed and intimidated the journalists. The Committee urges all the authorities to respect journalists who are on duty,” Committee added.
- Impact of Event
- 3
- Gender of HRD
- Man
- Violation
- (Arbitrary) Arrest and Detention, Judicial Harassment
- Rights Concerned
- Offline, Right to liberty and security
- HRD
- Environmental rights defender, Media Worker, Student
- Perpetrator-State
- Police
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Sep 16, 2020
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Aug 11, 2020
- Event Description
The Endowment Fund for Education (LPDP), a scholarship program managed by the Finance Ministry, has demanded human rights lawyer Veronica Koman to return the scholarship funds she obtained from the program that amounts to Rp773.8 million.
The LPDP president director, Rionald Silaban, confirmed the information to Tempo on Tuesday, August 11. �That is correct, LPDP has asked Veronica Koman Liau to return the entire scholarship funds we have granted.�
According to Rionald, the LPDP scholarship contract requires recipients who study abroad to return to Indonesia after they had completed their studies. He claimed that LPDP, through numerous methods, attempted to summon Veronica Koman upon this specific requirement.
�The person had refused to return to Indonesia,� said Rionald.
However, Veronica denied she had ignored the rule and in a written statement mentioned that she had returned to Indonesia in September of 2018 after completing her Masters of Laws at the Australian National University.
Rionald Silaban did not answer Tempo�s question regarding Veronica�s confirmation.
In October of 2018, Veronica Koman claimed to have conducted a human rights advocacy and served at the Human Rights Advocates Association for Papua (PAHAM Papua) based in Jayapura. She continued to venture into an advocacy mission at the United Nations in Switzerland in March 2019 before returning to Indonesia again.
�While in Australia in August of 2019, I was summoned by the Indonesian police and my name was then included in their most-wanted list (DPO) in September of 2019,� said Veronica who was subjected to death and rape threats during the time as she voiced against the narrative echoed by authorities in August - September of 2019.
- Impact of Event
- 1
- Gender of HRD
- Woman
- Violation
- Administrative Harassment
- Rights Concerned
- Right to access to funding
- HRD
- Lawyer, WHRD
- Perpetrator-State
- Government
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Sep 16, 2020
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Aug 21, 2020
- Event Description
Representatives from news websites tempo.co and tirto.id visited the Jakarta Police headquarters on Tuesday to report recent cyberattacks they have encountered.“As the owner of tirto.id, I feel like my house has been ransacked by thieves. Therefore, I’ve made the police report [today] in the hope of finding the perpetrators,” tirto.id editor in chief Atmaji Sapto Anggoro said in a statement made available to The Jakarta Post on Tuesday.
He explained that someone had broken into the media company’s website and deleted at least seven articles, including some that scrutinized the coronavirus drug development involving the State Intelligence Agency (BIN) and the Indonesian Military (TNI). The attack occurred on Friday. Tempo.co chief editor Setri Yasa, meanwhile, said the website was not accessible starting on Thursday midnight. The hacker took down the homepage replacing it with a statement that read “Stop hoaxes. Don’t lie to the Indonesian people, return to true journalistic ethics, obey the Press Council. Don’t [bow to] people who pay. Defaced by @xdigeembok.” The problem was resolved by at around 2:26 a.m. the @xdigembook Twitter account claimed to be responsible for the hacks on the following morning. It also replied to one of the Tempo articles, saying “Just wait. I will stick boogers onto your system again.”
Tempo.co, which is a part of Tempo Media Group that also publishes Koran Tempo daily and Tempo weekly magazine, claimed to have suffered material and other losses because of the attack, hence it had filed the report to the police. In their reports, they said the hackers had violated the 1999 Press Law by hindering the work of journalists, as well as the 2016 Electronic Information and Transactions (ITE) Law by destroying or removing electronic information. The Legal Aid Institute for the Press (LBH Pers), tempo.co and tirto.id's lawyer in the case, hoped that the police could soon proceed with their investigation and find the perpetrators to protect press freedom in the country. “We want the police to be serious in handling our clients’ reports to prove that the state is there to protect the rights of its citizens,” LBH Pers director Ade Wahyudin said.
The social media account of a University of Indonesia (UI) epidemiologist, Pandu Riono, was also hacked previously. He is known to be critical of the government’s COVID-19 related policies, such as tourism promotion amid the pandemic and the ineffectiveness of rapid antibody tests that have become a requirement for traveling. Prior to the hacking, the scientist criticized Airlangga University in Surabaya, East Java, for not reporting its potential vaccine to the Food and Drug Monitoring Agency (BPOM) to undergo clinical trials, but handing it over to BIN and TNI instead.
- Impact of Event
- 2
- Gender of HRD
- Other (e.g. undefined, organisation, community)
- Violation
- Censorship, Online Attack and Harassment
- Rights Concerned
- #COVID-19, Internet freedom, Media freedom, Online
- HRD
- Media Worker
- Perpetrator-State
- Unknown
- Perpetrator-Non-State
- Unknown
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Aug 26, 2020
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Aug 10, 2020
- Event Description
Diananta Putra Sumedi, a former chief editor of online local media banjarhits.id, was found guilty and sentenced to three months 15 days for his reporting of a land dispute. The International Federation of Journalists (IFJ) and its affiliate the Alliance of Independent Journalists (AJI) Indonesia express dismay over the conviction and call on authorities to stop criminalising journalists.
The panel of judges lead by Meir Elisabeth at the hearing in Kotabaru District Court, South Kalimantan on August 10 said that Diananta was guilty of inciting hatred and breaching the code of journalism ethics. The judges ruled he violated the article of 28 of the Information and Electronic Transactions Law (ITE Law).
Diananta was arrested by the special crimes investigation directorate of South Kalimantan despite the Indonesian Press Council resolving the dispute in January, 2020. He published an article on a land conflict entitled Johnlin seizes land, Dayak complains to the South Kalimantan Police on November 9, 2019 in banjarhits.id, a partner of national news media Kumparan. Sukirman from a Dayak community council filed a report against Diananta after the publication of the article. Although the dispute has been resolved through mediation process in the Press Council, the trial of Diananta still continued.
Criminalisation of journalists is an ongoing violation against journalists in Indonesia. Despite the fact that the police have signed a memorandum of understanding with the Indonesian Press Council to settle legal disputes, journalists are still being dragged before the courts.
Speaking to the reporters after the trial, Diananta said that the conviction is a very bad precedent for press freedom in Indonesia.
- Impact of Event
- 1
- Gender of HRD
- Man
- Violation
- (Arbitrary) Arrest and Detention, Denial Fair Trial, Judicial Harassment
- Rights Concerned
- Online, Right to fair trial, Right to liberty and security
- HRD
- Media Worker
- Perpetrator-State
- Judiciary
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Aug 21, 2020
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Jul 31, 2020
- Event Description
Ika Ningtyas and Zainal Ishaq, two fact-checkers from Tempo.co and also members of the Alliance of Independent Journalists (AJI) Indonesia, were targeted by doxing attacks following their work debunking information related to Covid-19. The International Federation of Journalists (IFJ) joins its affiliate AJI Indonesia to denounce these online attacks and urge the public to recognise the important role of journalists in undercovering facts, particulary during a health pandemic.
CekFakta Tempo.co published four articles to verify Covid-19 claims made by a veterinarian M. Indro Cahyono from April to July. Indro had posted those claims through his social media accounts, which subsequently went viral. The results of fact-checking conducted by Ika and Zainal, found that Indra�s posted were not entirely reliable and may mislead the public.
In the article regarding the PCR test published by Zainal, a comment from an account named Nurul Indra said that Zainal�s verification was wrong and Indro should file a report against Zainal and Tempo to the police. Polymerase chain reaction (PCR) is a diagnostic test for Covid-19
On July 31, Indro shared Zainal�s photos taken from his Facebook account together with the screenshots of fact-checking articles of Tempo.co. Indro wrote �fight for terrorist of Covid-19�. On August 1, Indro continued to share Zainal and Ika�s photos online, accusing the journalists of spreading fear. Indro�s attacks amped up on August 2 when he posted Zainal�s photo and labelled him as �the God of a global virus outbreak.�
AJI, in its statement, said the two journalists have contacted and interviewed numerous reliable sources including the representative of Indonesian Young Academy of Science (ALMI) and Airlangga University molecular biologist.
�AJI condemns online attacks against our members and reminds everyone that disputes regarding the media publications should follow the Indonesian Press Law mechanism,� AJI added.
- Impact of Event
- 2
- Gender of HRD
- Man, Woman
- Violation
- Online Attack and Harassment
- Rights Concerned
- #COVID-19, Online, Right to healthy and safe environment, Right to privacy
- HRD
- Media Worker
- Perpetrator-Non-State
- Non-state
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Aug 21, 2020
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Jul 27, 2020
- Event Description
Unjuk rasa di depan kantor Bupati Bima Senin (27/7) berlangsung ricuh. Mahasiswa dan aparat terlibat bentrok. Bahkan pendemo yang tergabung dalam Front Rakyat Merdeka (FRM) terkena lontaran peluru gas air mata di bagian dada hingga dilarikan ke Puskesmas.
Mahasiswa yang terkena tembakan gas air mata diketahui bernama Muhaimin, warga asal Desa Ngali, Kecamatan Belo. Saat itu aparat berusaha membubarkan aksi dengan menggunakan gas air mata. Muhaimin tiba tiba terkapar pingsan. Sejumlah rekan korban berupaya mengevakuasi korban kemudian dilarikan ke Puskesmas Woha.
Sementara aksi yang berlangsung di depan kantor bupati tersebut terkait izin penambangan. Massa menuntut agar SK nomor 188.45/357/004/2010 terkait penyesuaian Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT. Sumber Mineral Nusantara segera dicabut.
Menurut Kordum aksi, Imam Hidayat, izin tersebut bukan yang baru, melainkan penyesuaian terhadap izin yang lama. Yakni kuasa pertambangan nomor 621 tahun 2008 tanggal 22 Mei 2008. Mereka meminta agar izin itu segera dicabut dan diminta hentikan upaya �perampasan� lahan di setiap kecamatan yang ada di Kabupaten Bima.
Sebaliknya, yang jadi tuntutan mahasiswa agar Pemda menutup sejumlah kekurangan pelayanan langsung kepada masyarakat. Seperti menghadirkan mobil sampah, Damkar di setiap kecamatan, perbaikan infrastruktur jalan, lampu jalan dan drainase.
Massa juga mendesak Bupati Bima untuk mengevaluasi kinerja PD.Wawo, juga mendesak agar mengevaluasi kinerja KP3 tingkat Kabupaten Bima.
- Impact of Event
- 2
- Gender of HRD
- Man, Other (e.g. undefined, organisation, community)
- Violation
- Violence (physical), Wounds and Injuries
- Rights Concerned
- Freedom of assembly, Offline, Right to healthy and safe environment, Right to Protest
- HRD
- Community-based HRD
- Perpetrator-State
- Police
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Aug 21, 2020
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Jul 16, 2020
- Event Description
Puluhan demonstran yang terdiri dari 36 laki-laki dan seorang perempuan ditangkap polisi dalam aksi tolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja di Makassar. "Massa unjuk rasa tanpa izin, lakukan perusakan, ada yang bawa sajam," ucap Kabid Humas Polda Sulawesi Selatan Kombes Pol Ibrahim Tompo, ketika dikonfirmasi Tirto, Kamis (16/7/2020). Tompo mengklaim peserta aksi juga mengabaikan perintah untuk membubarkan diri dari petugas. Kini mereka dibawa ke Polrestabes Makassar guna pemeriksaan. Massa yang terdiri dari aliansi mahasiswa dan buruh di Makassar berdemonstrasi di sekitar gedung DPRD Sulawesi Selatan dan bawah flyover Jalan Urip Sumoharjo, Kamis (16/7/2020). Demonstran dan aparat sempat bentrok saat demo berlangsung. Kabag Ops Polrestabes Makassar AKBP Anwar Danu mengatakan bentrokan karena aksi yang semula berjalan damai disusupi kelompok tertentu, namun dia tidak menyebut detail nama kelompok tersebut. "Sebenarnya semua bisa berjalan dengan baik cuma karena ada kelompok tertentu yang memanfaatkan situasi, dia melihat situasi tidak kondusif akhirnya anggota mengambil tindakan untuk membubarkan," kata Anwar. Demo menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja juga digelar di Makassar Maret lalu. Massa yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Menolak (Geram) bersama gabungan mahasiswa berdemonstrasi di depan kantor Gubernur Sulawesi Selatan. Baca juga artikel terkait DEMO TOLAK OMNIBUS LAW atau tulisan menarik lainnya Adi Briantika
Baca selengkapnya di artikel "Aksi Tolak Omnibus Law di Makassar, 37 Demonstran Ditangkap Polisi", https://tirto.id/fRCG
- Impact of Event
- 37
- Gender of HRD
- Man, Woman
- Violation
- (Arbitrary) Arrest and Detention, Violence (physical)
- Rights Concerned
- Freedom of assembly, Offline, Right to healthy and safe environment, Right to liberty and security
- HRD
- Student
- Perpetrator-State
- Police
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Aug 21, 2020
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Jul 2, 2020
- Event Description
Wartawan media online Garis62.com, wilayah peliputan di kabupaten Batu Bara, Muhammad Murhim, mengalami pengancaman teror dari oknum PT Waskita Karya, salah satu perusahaan BUMN, yang saat ini tengah melaksanakan proyek pembangunan Tol Kuala Tanjung � Indrapura, pada Kamis, 1 Juli 2020.
Acaman itu diduga kuat dilatarbelakangi oleh pemberitaan yang ditulis Murhim dan tayang di berita garis62.com, beberapa jam sebelum Murhim diancam-ancam.
Gara-gara berita yang dimuat murhim berisikan konten dampak dari pembangunan PT Waskita Karya, membangun Tol Indrapura � Kuala Tanjang, ada sebanyak puluhan rumah warga retak-retak, jalan rusak dan berlumpur, sehingga warga melakukan aksi protes ke Balai Desa Sipare-pare, menuntut agar PT Waskita Karya secepatnya bertangung Jawab.
Atas kejadian itu, tak lama kemudian datanglah salah seorang Oknum PT Waskita Karya mengaku-ngaku sebagai Humas ke kafe Kono Kopi, tempat dimana biasanya Murhim melakukan aktivitas editing jurnalistik, namanya adalah Joko Bagus Triono.
Joko datang ternyata tak semdirian, Joko datang bersama dua rekannya yang bertubuh tegap, besar dan kekar, termasuk satu diantaranya juga ada dari oknum polisi, mengaku dari Pamprapid Poldasu, duduk di dekat Mhd Murhim.
Saat itulah Joko meminjam pistol rekannya, lalu joko memainkan pistol dengan cara diputar-putar di jarinya dan mengarah di hadapan Muhammad Murhim.
Terkait ini, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) kabupaten Batu Bara, mengecam keras pelaku dugaan teror mengancam nyawa wartawan, yakni Mhd Murhim.
PWI menyatakan kebebasan pers di Batu Bara belum menggembirakan
Akibat dari peristiwa teror itu, Murhim mengaku ketakutan.
Selain takut, Murhim juga mengaku mengalami trauma besar, akibatnya, Murhim tak lagi berani meliput terkiat kerusakan lingkungan akibat dampak pembangunan Tol Indrapura � Kuala Tanjung yang dikerjakan PT Waskita Karya. Akhirnya Murhim pun kemudian mengadukan kasus tersebut ke Polres Batubara, menganggap pristiwa tersebut mendapat back up�an dari Polisi.
Dimana saat kejadian tersebut, salah satu diantara yang mendampingi Joko Agus triono mengancam Murhim, merupakan salah satu oknum polisi, mengaku dari Pamprapid Polda Sumut.
�Kita sangat menyayangkan dan menyesalkan tindakan intimidasi dan ancaman kepada wartawan. Wartawan dalam menjalankan tugas dilindungi oleh undang -undang,� kecam Ketua PWI Batubara, Alpian, seperti dilansir dari medanbisnisdaily.com, pada Jumat, (3/7/2020) dini hari.
Menurut Alpian, intimidasi dan ancaman yang dilakukan oleh oknum PT Waskita Karya sebagai pelaksana proyek Tol Indrapura � Kuala Tanjung tersebut, tidak bertanggung jawab, jelas sangat mencederai kemerdekaan pers sebagai pilar keempat dari berjalannya negara demokrasi.
Tak hanya itu kata Alpian, tindakan yang dilakukan oleh oknum PT Waskita tersebut, lanjut Alpian, sangat bertentangan dengan amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Lebih lanjut Alpian menegaskan, bahwa pers punya kewenangan dan tangung jawab untuk mencari, mengelola, dan menyebarluaskan informasi berdasarkan fakta serta apapun permasalahannya, pers tetap dilindungi undang-undang dalam menjalankan tugasnya.
�Intimidasi dan ancaman serta penghalangan terhadap wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistik dapat dihukum dan didenda sesuai dengan aturan yang berlaku,� tegas Alvian.
Lebih lanjut Alpian mengatakan, apabila ada sengketa dalam kasus pemberitaan dimedia massa, seharusnya pihak PT Waskita Karya dapat menyelesaikannya melalui hak jawab dan hak koreksi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
�Apabila ada masyarakat atau satu kelompok yang keberatan tentang pemberitaan dimedia massa, yang bersangkutan bisa menggunakan hak jawab dan koreksi sesuai dengan undang-undang. Bukan dengan cara intimidasi atau ancaman (teror),� ujarnya.
Untuk itu, PWI Kabupaten Batubara menginggatkan kepada pihak Kepolisian agar serius mengusut tuntas kasus intimidasi dan ancaman terhadap wartawan yang terjadi di Batubara, sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
PWI Kabupaten Batubara kemudian menginggatkan sekaliguas meminta kepada pihak Kepolisian daerah dibawah Ikhwan Lubis, agar memberi perhatian khusus untuk kasus dugaaan ancaman teror dengan pistol, yang terjadi di kabupaten Batu Bara, dan meminta pelakunya jika terbukti, segera ditangkap, diadili dan dihukum.
�Kami PWI kabupaten Batubara meminta pihak Kepolisian untuk serius mengusut tuntas kasus intimidasi dan ancaman terhadap wartawan. Kita berharap, kasus seperti ini tidak lagi terjadi di Batu Bara,� pungkasnya.
- Impact of Event
- 1
- Gender of HRD
- Man
- Violation
- Death threat, Intimidation and Threats
- Rights Concerned
- Offline, Right to healthy and safe environment
- HRD
- Media Worker
- Perpetrator-Non-State
- Corporation (others)
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Aug 21, 2020
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Jun 25, 2020
- Event Description
Ratusan aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) cabang Kabupaten Pamekasan, Madura, melakukan demonstrasi di Kantor Pemkab Pamekasan, Kamis (25/6/2020).
Dalam aksinya, massa PMII Pamekasan menyuarakan perihal maraknya dugaan adanya ratusan tambang galian C ilegal di Kabupaten Pamekasan yang dibiarkan beroperasi.
Namun, terjadi insiden bentrok antara aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) cabang Kabupaten Pamekasan, Madura dengan aparat kepolisian.
Berdasarkan informasi yang diterima TribunMadura.com, sebanyak 28 orang kini menjalani pemeriksaan oleh pihak Polda Jatim, Jumat (26/6/2020).
Tiga orang peserta demo mengalami luka-luka dan sempat menjalani perawatan di RSUD Dr H Slamet Martodirdjo Kamupaten Pamekasan.
Peserta demonstrasu yang mengalami luka di kepala adalah Ketua Rayon Sakera IAIN Madura, Fiki.
Kemudian, Wakil Ketua 1 Pengurus Cabang (PC) PMII Pamekasan, M Yasin mendapat luka memar pada bagian dada, dan Saiful Anam memperoleh luka memar pada bagian tubuh.
Adapun 20 orang lainnya merupakan anggota kepolisian dari Satuan Samapta Bhayangkara (Satbhara) Polres Pamekasan.
Kemudian, lima orang anggota Satpol PP Kabupaten Pamekasan serta tiga orang perwakilan mahasiswa atau massa PMII Pamekasan.
Kabid Humas Polda Jatim, Kombes Pol Trunoyudo Wisnu Andiko mengatakan, bahwa pengusutan insiden ini telah dikomandoi langsung oleh Kabid Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Jatim Kombes Pol Puji Hendro Wibowo.
Artikel ini telah tayang di Tribunmadura.com dengan judul Aksi Demo PMII Pamekasan Tuntut Tambang Galian C Ilegal Ditutup Berujung Bentrok, 3 Orang Terluka, https://madura.tribunnews.com/2020/06/26/aksi-demo-pmii-pamekasan-tuntut-tambang-galian-c-ilegal-ditutup-berujung-bentrok-3-orang-terluka. Penulis: Luhur Pambudi Editor: Elma Gloria Stevani
- Impact of Event
- 3
- Gender of HRD
- Man
- Violation
- Violence (physical)
- Rights Concerned
- Freedom of assembly, Offline, Right to healthy and safe environment
- HRD
- Student
- Perpetrator-State
- Police
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Aug 21, 2020
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Jun 24, 2020
- Event Description
YouTube removed the live webinar �Exploring non-homophobic religions� stating the content breached community guidelines. The International Federation of Journalists and its affiliate the Alliance of Independent Journalists (AJI) Indonesia urge YouTube to explain the removal of the live stream.
The Association of Journalists for Diversity (Sejuk) broadcast on June 24 was interrupted after 48 minutes by YouTube after users reported the webinar for breaching community guidelines. YouTube did not specify what section of the community guidelines Sejuk breached.
In response, Sejuk noted there was no reason to stop the live stream and it did not break the law. YouTube restored the vide on June 25 on Sejuk�s channel.
YouTube has a history of discriminating against the LGBTI community with claims from YouTubers saying the platform�s algorithm systematically demonetises LGBTI content. A study by the Sealow research group found YouTube automatically demonetised 33 per cent of videos with LGBTI content in the title. A spokesperson from YouTube rejected claims stating the algorithm discriminated against LGBTI content.
A joint statement signed by Sejuk, AJI, and several other Indonesian human rights organisations said YouTube contravened Indonesia�s constitutionally guaranteed freedom of speech and expression, and the International Covenant on Civil and Political Rights.
- Impact of Event
- 1
- Gender of HRD
- Other (e.g. undefined, organisation, community)
- Violation
- Censorship, Online Attack and Harassment
- Rights Concerned
- Internet freedom, Media freedom, Online
- HRD
- Media Worker, SOGI rights defender
- Perpetrator-Non-State
- Non-state
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Aug 21, 2020
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Jun 17, 2020
- Event Description
Dozens killed in rallies
More than 40 people were killed in August and September 2019 after anti-government protests turned violent in Papua and West Papua provinces, which make up the Indonesian half of New Guinea island.
The unrest was sparked by perceived heavy-handed and racist treatment of Papuan students by security personnel on Java Island. It prompted the government to send police and military troops to the Papua region and block the internet for three weeks.
Papuan activists and their supporters, inspired by the Black Lives Matter protests in the United States, recently went on social media using the hashtag �PapuanLivesMatter� to denounce what they see as racist treatment across Indonesia of Papuans.
Protests broke out across the United States sparked by a video that showed a Minneapolis police officer kneeling on the neck of a black man, George Floyd, who said he could not breathe and later died, as other officers stood nearby.
On Wednesday, Amnesty International urged the Indonesian government to release the seven who were convicted in Balikpapan.
�We deeply regret the court�s decision. Although the sentences are much lighter than those demanded by the public prosecutors, we believe the prisoners of conscience should not have been arrested, jailed and prosecuted,� AI Indonesia executive director Usman Hamid said in a statement.
The Papua region was incorporated into Indonesia in 1969 after a U.N.-administered ballot known as the Act of Free Choice. Many Papuans and rights groups said the vote was a sham because it involved only about 1,000 people.
The provinces of Papua and West Papua make up one-fifth of Indonesia�s land mass but only 5.9 million of Indonesia�s 270 million people live there.
- Impact of Event
- 7
- Gender of HRD
- Man
- Violation
- Judicial Harassment
- Rights Concerned
- Minority Rights, Right to liberty and security, Right to self-determination
- HRD
- Minority rights defender
- Perpetrator-State
- Judiciary
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Aug 21, 2020
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Jun 15, 2020
- Event Description
A court in Indonesia has sentenced two indigenous farmers to eight and 10 months in prison respectively for stealing oil palm fruit from a plantation company that is itself accused of stealing their land.
On June 15, the Sampit district court in East Kotawaringin, in the Bornean province of Central Kalimantan, ruled Dilik Bin Asap from Penyang village guilty of harvesting palm fruit on land claimed by the villagers but cultivated by PT Hamparan Masawit Bangun Persada (PT HMBP), an affiliate of the BEST Group. The court also found James Watt, a prominent land rights activist, guilty of ordering Dilik and other farmers to harvest the fruits.
As a result, the panel of judges sentenced Dilik to eight months in prison and James to 10 months in prison.
Another farmer, Hermanus Bin Bison, was arrested by police along with Dilik, and he died in custody, reportedly after being refused proper treatment for his ill health.
James said he wasn�t guilty and would appeal the verdict.
�But this fight isn�t my own,� he said. �It�s the Penyang villagers�, so I ask their approval first to determine the next step.�
Bama Adiyanto, a lawyer representing James and Dilik, said the judges had ignored the fact that ownership of the harvested land was still under dispute, and therefore the company didn�t have a case that the farmers had stolen from its property.
According to the Penyang villagers, PT HMBP has cleared forests and cultivated oil palms on land outside its concession, encroaching onto the community�s land. They have lodged complaints with multiple authorities, including the East Kotawaringin district government and council, and the national human rights commission, known as Komnas HAM.
In 2010, the district chief officially declared that PT HMBP was operating outside its concession and ordered it to cede the disputed land back to the community. The following year, the district council determined that the company had illegally planted on 1,800 hectares (4,450 acres), and echoed the district chief�s call to hand the land back to the villagers. Komnas HAM also called on the company to follow through.
But it wasn�t until October 2019 that PT HMBP acted. Even then, it said it would only relinquish control of a fraction of the disputed land � 117 hectares, or 290 acres � either completely or partially, offering to manage it in collaboration with the villagers. Ignored evidence
Bama said lawyers for the farmers had presented evidence in court that the harvested land wasn�t part of PT HMBP�s concession.
�The location is clearly outside the company�s [plantation area] and is owned by the locals,� he said. �In fact, it�s the company that�s in the wrong for cultivating on the location.�
Dimas Novian Hartono, the Central Kalimantan director of the Indonesian Forum for the Environment (Walhi), said one of the key pieces of evidence corroborating the villagers� claim was a copy of the outcome of an investigation by the government�s land agency, BPN, conducted in 2012.
But the judges said the evidence presented couldn�t be used in the trial because the charges against Dilik and James were criminal in nature, and not a civil lawsuit, and thus the question of the ownership of the land wasn�t at issue in this case.
�So [the judges] didn�t look deeper into the root of the case,� Dimas told Mongabay.
Also during the trial, neither PT HMBP nor the prosecutors could present evidence to back up the company�s claim that it owns the permit to the harvested land.
Kurnia Warwan, an agrarian law expert at Andalas University, said this fact alone should have been enough to compel the judges to acquit James and Dilik.
�That [verdict] is very surprising,� he said. �From the beginning, this theft case has already failed to meet the element [of a crime].�
Kurnia added that the plantation law used by the prosecutors in charging James and Dilik could also be wielded against PT HMBP, given that it expressly prohibits companies from cultivating on locals� lands without their consent.
James and Dilik, Kurnia said, were therefore victims of criminalization.
Walhi also highlighted irregularities in the case. Among them: the company filed a police report against Dilik and Hermanus at 7 a.m. on the morning of Feb. 17. Yet they only started harvesting the palm fruit � their alleged crime � at 9 a.m.
James was arrested on March 7 by the Central Kalimantan police in Jakarta, where he had gone to report the earlier arrests of Dilik and Hermanus to Komnas HAM and the witness protection program, or LPSK.
Walhi said the three farmers were charged shortly after the arrests.
�All three were even interrogated [by the police] without being accompanied by legal advisers and while they were exhausted after the trip to the Central Kalimantan police headquarters,� Walhi said.
Bama said he also had difficulties meeting the three farmers after the police detained them.
�We couldn�t meet them immediately [after the arrest],� he said. �The local police always had reasons to prevent us from meeting [them] and hearing their version of the story.�
In response to the verdict, PT HMBP legal manager Wahyu Bimo said the harvested land is part of the area that the company had offered to managed in collaboration with the villagers.
�That land is planned to be developed into a plasma plantation,� he said, using the local term for smallholder plots that supply larger plantations. �The cooperative is already established. Those who join the opposition [against the company], including those who harvested [the palm fruit], are not a part of the cooperative for the plasma [program].�
Bama said he and the other lawyers for James and Dilik would file an appeal against the criminal conviction of the farmers, as well as a civil lawsuit against PT HMBP over ownership of the land. Dimas from Walhi, who is part of the legal team, said they planned to get the buy-in of all the villagers in order to mount a solid lawsuit.
- Impact of Event
- 2
- Gender of HRD
- Man
- Violation
- Judicial Harassment
- Rights Concerned
- Right to liberty and security
- HRD
- Indigenous peoples' rights defender, Land rights defender
- Perpetrator-State
- Judiciary
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Aug 21, 2020
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Jun 10, 2020
- Event Description
Student journalists from the University of Lampung (Unila) were the targets of digital attacks on June 10, amid preparations to hold an online discussion on racism in Papua. The International Federation of Journalists (IFJ) and its affiliate the Alliance of Independent Journalists (AJI) Indonesia condemn the digital attacks and call the authorities to conduct a thorough investigation immediately.
Writing for the student publication, Teknokra, two journalists, Chairul Rahman Arif and Mitha Setiani Asih received threats after they planned an online discussion on racial discrimination against Papuans. While Chairul received intimidating messages on WhatsApp, sending him his identity card and threats to his parents� security, the attacker sent Mitha dozens of food deliveries despite not ordering food and hacked Mitha and the publication�s Instagram and Facebook account.
One of the planned speakers for the discussion, Tantowi Anwari, who works for the Journalists Association for Diversity (Sejuk) and his wife also received threats.
AJI notes the same pattern of attacks, hacking a person�s social media account, sending anonymous messages and calls on WhatsApp and receiving unexpected food deliveries has been used many times against human rights and media freedom activists in Indonesia.
- Impact of Event
- 2
- Gender of HRD
- Man
- Violation
- Intimidation and Threats, Online Attack and Harassment
- Rights Concerned
- Internet freedom, Online, Right to healthy and safe environment, Right to privacy
- HRD
- Student
- Perpetrator-State
- Unknown
- Perpetrator-Non-State
- Unknown
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Aug 21, 2020
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- May 27, 2020
- Event Description
Sebanyak empat orang pemuda diancam kurungan empat bulan penjara karena nekat menggelar aksi demonstrasi saat pemberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Kabupaten Bengkalis, Riau. Keempat pemuda itu menggelar aksi 'Kamisan' terkait perkara Bongku.
Empat pemuda tersebut berinisial, RHS, 23, warga Kecamatan Bengkalis dan tiga orang warga Kecamatan Rupat berinisial, MHR, 21, MAA, 21 serta MH, 23.
"Memang benar, keempat pemuda telah ditetapkan sebagai tersangka karena menggelar aksi sebagaimana dari informasi yang beredar di media sosial ada undangan ajakan untuk melaksanakan aksi "Kamisan" terkait perkara Bongku, Kamis (21/5/20) lalu," Kepala Satuan Reskrim Polres Bengkalis, AKP Andrie Setiawan, Rabu, 27 Mei 2020.
- Impact of Event
- 4
- Gender of HRD
- Other (e.g. undefined, organisation, community)
- Violation
- (Arbitrary) Arrest and Detention
- Rights Concerned
- Freedom of assembly, Offline, Right to liberty and security
- HRD
- Community-based HRD
- Perpetrator-State
- Police
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Aug 21, 2020
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- May 26, 2020
- Event Description
The Alliance of Independent Journalists (AJI) has urged the police to investigate the alleged doxing (dissemination of personal information) and intimidation of a journalist working for popular news outlet Detik.com following his report on President Joko �Jokowi� Widodo�s plan to monitor �new normal� preparation measures in malls in Bekasi, West Java.
�We demand the police investigate the alleged crime of doxing and threats of violence and murder against the journalist until the perpetrators are brought to court,� AJI Jakarta chairman Asnil Bambani and AJI Jakarta advocacy team head Erick Tanjung said in a joint statement on Thursday.
The harassment was apparently inspired by an article titled �Jokowi to lead the opening of several malls in Bekasi this afternoon amid pandemic� published by Detik.com on Tuesday.
Asnil said the journalist obtained all of the information from the Bekasi administration�s head of external publication.
- Impact of Event
- 1
- Gender of HRD
- Man
- Violation
- Death threat, Intimidation and Threats, Online Attack and Harassment
- Rights Concerned
- #COVID-19, Online, Right to healthy and safe environment, Right to privacy
- HRD
- Media Worker
- Perpetrator-State
- Unknown
- Perpetrator-Non-State
- Unknown
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Aug 21, 2020
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- May 15, 2020
- Event Description
Ratusan massa penggarap lahan PTPN II yang menamakan dirinya Serikat Petani Simalingkar Bersatu (SPSB), melakukan aksi demo ke kantor Bupati Deli Serdang, Kantor DPRD dan kantor BPN Kabupaten Deliser�dang, Senin (25/11).
Koordinator aksi, Arus Wiyono menilai, pemerintah daerah seolah tinggal diam dalam masalah konflik agraria pada lahan yang mereka klaim sudah diusahai sejak 1951.
Untuk itu, massa panggarap yang terga�bung dalam SPSB dalam orasinya me�ngusung poster dan spanduk yang isinya menuntut menghentikan darurat agraria khususnya di Simalingkar dan Pancurbatu, Kabupaten Deliserdang. Aksi mendapat pengawalan ketat pihak kepolisian dan Satpol PP Deliserdang.
Usai melakukan aksi di Kantor Bupati Deliserdang, massa bergerak ke kantor DPRD Deliserdang guna mendesak anggota DPRD Deliserdang segera membuat reko�mendasi kepada Bupati Deliserdang untuk mengesahkan tanah tersebut untuk petani, sebagai tindak lanjut dari kerja DPRD Deliserdang sebelumnya.
Kabag Sekretaris Perusahaan PTPN II, Irwan yang didampingi Kabag Hukum Pertanahan PTPN II, Kennedy Sibarani dan Humas PTPN II, Sutan Panjaitan, serta Sastra SH Mkn dan Dr Ali Yusran Gea SH Mkn MH selaku Kuasa Hukum PTPN II mengatakan, mereka menghormati aksi demo yang dilakukan para petani walaupun pihak PTPN II telah memenangkan gugatan petani di PTUN dengan putusan NO 119/G/2018 yang menyatakan gugatan petani sebagai penggugat tidak diterima dan dikuatkan lagi dengan putusan PTUN Medan no.146/B/2019.
Pihak PTPN II menghimbau masyarakat yang telah menguasai lahan yang masih bersertifikat HGU No 171 Simalingkar A dengan luas 854.26 ha berakhir tahun 2034 agar secara sukarela mengembalikannya ke pihak PTPN II yang diberikan amanah untuk mengelola aset Negara.
- Impact of Event
- 1
- Gender of HRD
- Man
- Violation
- (Arbitrary) Arrest and Detention, Judicial Harassment
- Rights Concerned
- Right to liberty and security
- HRD
- Community-based HRD
- Perpetrator-State
- Police
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Aug 21, 2020
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- May 13, 2020
- Event Description
Nasib Naas menimpa seorang wartawan media online bernama Ahmad Sahib warga desa Kediri kabupaten Lombok barat. Lantaran Berita yang ia tulis berimbas terhadap pemukulan yang di lakukan oleh seorang Kepala Dusun Karang Bedil Utara berinisial MN di Di Wilayah Desa Kediri induk, Kecamatan Kediri Kabupaten Lombok Barat.
Kejadian bermula ketika Ahmad Sahib menulis berita seorang nenek tua renta asal Dusun Karang Bedil Utara yang kehidupannya di bawah garis kemiskinan, dalam berita tersebut diterangkan bahwa nenek tua itu jarang mendapat bantuan sosial dari pemerintah terutama disinyalir minim perhatian dari pemerintah setempat.
Laman berita online yang dishare di beberapa akun media sosial warga itu VIRAL dan menuai protes serta tanggapan para netizen.
Di duga tidak terima dengan pemberitaan itu, oknum Kadus MN mendatangi rumah korban dan melayangkan bokem mentah ke arah wajah AS. Akibat hantaman ini, tulang hidung AS patah dan bersimbah darah.
Korban langsung di larikan ke Rumah Sakit Gerung untuk mendapatkan pertolongan.
Salah seorang warga Desa Kediri yang berada di Lokasi kejadian mengatakan, Pemukulan terjadi ketika korban berada di rumahnya sedang menunggu waktu berbuka puasa, lalu datang pelaku, kemudian terjadi cek cok mulut dan berakhir dengan pemukulan.
" kejadiannya tadi sebelum datang waktu berbuka puasa, karena kebetulan saya tetanggan sama korban, saya dengar mereka cek cok mulut, setelah saya datang, korban sudah berlumuran darah." Ungkap Radi salah satu tetangga korban.
Ditambahkan oleh Radi yang juga sebagai petugas puskesmas Kediri bahwa saat ini kondisi korban sangat kritis mengingat tulang hidungnya mengalami patah ringan, dan rahangnya juga mengalami luka sehingga berlumuran darah.
"Saat ini, pasien sedang dalam perawatan medis dan kami akan rujuk ke rumah Sakit Umum Patut Patuh Patju untuk mendapatkan perawatan medis lebih lanjut." Jelas Radi.
- Impact of Event
- 1
- Gender of HRD
- Man
- Violation
- Violence (physical)
- Rights Concerned
- Right to healthy and safe environment
- HRD
- Media Worker
- Perpetrator-State
- Government
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Aug 21, 2020
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- May 4, 2020
- Event Description
Activists have condemned the arrest of a journalist in Indonesia for reporting on a land conflict between a palm oil company owned by a powerful tycoon and indigenous groups in Borneo.
Police arrested Diananta Putra Sumedi on May 4 and charged him under a controversial 2016 law on electronic communications. The law has frequently been used to bring charges against individuals, including journalists, on the nebulous grounds that their writings or statements �cause offense.� Diananta faces up to six years in prison if convicted.
In a statement, the International Federation of Journalists called on the Indonesian police to release Diananta, the chief editor of the news site banjarhits.id and correspondent for investigative outlet Tempo.
�IFJ has seen continued efforts to criminalize journalists in Indonesia,� it said. �The Press Council has a clear complaints mechanism for solving disputes, and this has been ignored. IFJ urges the police to release Diananta immediately, respect decisions made by the Press Council and ensure the safety of journalists in the country.�
The case stems from a news report published by banjarhits.id and syndicated by the bigger news site Kumparan on Nov. 19, 2019, under the heading �Jhonlin seizes land, Dayaks complain to the South Kalimantan Police.� It quoted indigenous Dayak people in the village of Cantung Kiri Hilir, South Kalimantan province, as being critical of the palm oil firm Jhonlin Agro Raya (JAR). The company is part of the Jhonlin Group owned by tycoon Andi Syamsudin Arsyad, popularly known as Haji Isam, part of the large ethnic Bugis community that migrated to Borneo from the island of Sulawesi.
The report quoted Sukirman, a Dayak member, as saying that the alleged land grabbing by JAR could trigger conflict between the Dayak and Bugis communities. Sukirman also said in the article that Haji Isam had treated the Dayak people unjustly.
Following the article�s publication, Sukirman filed a complaint with the police, saying he had never said the things attributed to him. He also said he didn�t want to inflame ethnic tensions and preferred to resolve the land dispute amicably or through the courts.
He also complained to the Press Council, which mediates disputes over news reporting. The council ruled on Jan. 9 that the article breached the journalistic code of ethics, and on Feb. 5 it recommended that Kumparan publish a right of reply and delete the original article, explaining why.
JAR also reported Kumparan to the Press Council, leading to the news site taking down three articles related to the land conflict between the company and the villagers, including the one quoting Sukirman. The other two were headed �For the sake of palm oil, Jhonlin displaces the land of people in three villages in Kotabaru,� and �Dayaks in all Kalimantan will occupy contested land in Kotabaru.�
A Google search for the land conflict now yields no media coverage of the case, except stories about Diananta�s arrest. JAR did not respond to an inquiry by Mongabay.
Yet despite the Press Council having already ruled on the case, the police pushed on with the criminal complaint. They refused to release Diananta after his lawyers argued that his family depended on him for their livelihood and cited the risk of keeping him in a crowded jail cell amid the COVID-19 pandemic.
The police said Diananta might destroy evidence relating to the investigation if released. They also said he might publish more stories deemed �negative.� South Kalimantan police spokesman Mochammad Rifai said investigators had questioned all parties involved in the case, as well as experts, and concluded there were grounds for criminal charges.
The Alliance of Independent Journalists (AJI), the Indonesian affiliate of the IFJ, condemned the continued detention in the wake of the Press Council�s resolution and the compliance of the respective media outlets.
�According to the memorandum of understanding signed by Press Council and the Chief of National Police, it is clear that every dispute related with journalism should be settled in the Press Council,� AJI said. �AJI condemns the arrest which shows the fact that police neglected the MoU and do not respect the press freedom.�
This isn�t the first time a journalist�s coverage of Haji Isam�s Jhonlin Group has landed them in hot water. In 2018, Jhonlin subsidiary PT Multi Sarana Agro Mandiri (MSAM) filed a police complaint against Muhammad Yusuf over at least 23 online news reports about a land conflict involving the company.
Parts of MSAM�s concession in Pulau Laut, a small island off the coast of South Kalimantan, are claimed by several other firms as well as by farmers who accuse the company of bulldozing their crops to make way for its plantation, which Yusuf reported on. Police arrested him on the same charges under the electronic communications act as Diananta. Yusuf died of a heart attack after more than a month in custody.
- Impact of Event
- 1
- Gender of HRD
- Man
- Violation
- (Arbitrary) Arrest and Detention, Enactment of repressive legislation and policies, Judicial Harassment
- Rights Concerned
- Online, Right to liberty and security
- HRD
- Media Worker
- Perpetrator-State
- Police
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Aug 21, 2020
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- May 1, 2020
- Event Description
Sahril is a journalist for kabardaerah.com. He was assaulted by Dirman, Bisui Village chief, allegedly for writing a news article about Bisui Villages’ management of Covid-19 countermeasure budget. After the news article was published, Sahril was called by Dirman saying he was going to give his perspective regarding the news article that Sahril wrote. When they meet, Dirman immediately choke Sahril while telling him to “write news properly”. Following this incident, Sahril reported Dirman to local authority for committing violence.
- Impact of Event
- 1
- Gender of HRD
- Man
- Violation
- Violence (physical)
- Rights Concerned
- #COVID-19, Offline, Right to healthy and safe environment
- HRD
- Media Worker
- Perpetrator-State
- Government
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Aug 21, 2020
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Apr 26, 2020
- Event Description
Indigenous rights activists in Indonesia have condemned local authorities over the death in custody of a farmer accused of stealing palm fruit from a plantation company in Borneo.
Hermanus Bin Bison, 35, was among three indigenous farmers in the Bornean province of Central Kalimantan jailed since Feb. 17 following a complaint by PT Hamparan Masawit Bangun Persada (HMBP), an affiliate of the BEST Group. The company itself stands accused of stealing the farmers� land, but has never been investigated.
Hermanus died shortly after midnight on April 26 at a hospital in East Kotawaringin district, Central Kalimantan, were he was transferred from detention after falling ill, including being unable to walk, on April 25. He is survived by his wife and two daughters, ages 6 and 7.
Aryo Nugroho, the farmers� lawyer and head of the legal aid institute in Palangkaraya, the provincial capital, said Hermanus had suffered ill health throughout his time in detention but never given adequate treatment.
At a court hearing on April 6, in which Hermanus was confined to a wheelchair because of difficulty walking, his legal team asked that he be released to seek treatment. The court rejected the request. On April 9, a doctor who visited him in his jail cell, which he shared with several other inmates, found he had asthenia, a condition of abnormal physical weakness, and a fever of 39� Celsius (102� Fahrenheit), prompting fears he might have COVID-19 and risk infecting others in the overcrowded jail cell.
The lawyers once again petitioned to have him released, and this time the court acquiesced. At Murjani General Hospital in East Kotawaringin later that day, however, doctors said he had a simple cold and could be returned to jail. Back in custody, Hermanus�s condition continued to deteriorate, until he was hospitalized again on April 25. He died just hours later.
Aryo said the initial hospital check was inadequate. �The treatment only consisted of him being questioned. There was no checkup like blood tests or chest x-rays,� he said.
Dimas Hartono, the director of the Central Kalimantan chapter of the Indonesian Forum for the Environment (Walhi), said Hermanus had received better treatment from the doctor summoned to the jail than from the hospital. Despite his being sent to hospital with a high fever the first time, hospital staff didn�t record his temperature, Dimas said.
Police also failed to act on the doctor�s advice that Hermanus be held separately from the other detainees, instead keeping him in a small cell with several other people.
�The recommendation by the doctor who was summoned to the jail was not followed up on by either side,� Dimas told Mongabay.
Aryo said the actions by the hospital and the police raised questions about Hermanus�s death. �They said his condition was not an emergency, and yet he passed away two weeks later.�
Nur Hidayati, the national director of Walhi, said the way Hermanus was treated was in stark contrast to how politicians or businesspeople implicated in corruption were dealt with. Corruption convicts have been known to enjoy lavish lifestyles behind bars by bribing prison staff to get their cell upgraded, often to the level of a studio-type apartment. Graft convicts have also been documented abusing their right to hospital visits to actually go shopping or pursue other leisure activities on the outside.
Nur called on higher authorities to investigate the judges, prosecutors and police for allegedly hampering Hermanus�s access to adequate medical treatment. She also urged the government to address the root of the problem, which is the long-standing conflict between the villagers and the palm oil company.
�The agrarian conflict, which is the root cause of Hermanus� death, has to be solved immediately,� Nur said.
PT HMBP legal department staff Hendri declined to comment on the issue of Hermanus� detention, saying only that the firm would let the law take its course.
�For the case of the three people, because this is a legal matter, we entrust this case to the authorities,� he said.
Nur also called for Hermanus�s two co-defendants, James Watt and Dilik Bin Asap, to be released from detention as part of a wider government program to ease prison overcrowding in response to the COVID-19 outbreak. But Aryo said he was pessimistic the court would allow it, given that the judges haven�t let Hermanus�s death delay the ongoing trial.
The latest hearing took place on April 27.
�Our hope was to get the trial postponed out of respect for Hermanus�s death,� Aryo said. �But the judges went ahead with their decision, even though his body hasn�t been buried yet.�
- Impact of Event
- 1
- Gender of HRD
- Man
- Violation
- Death, Denial Fair Trial
- Rights Concerned
- Right to health, Right to healthy and safe environment, Right to life
- HRD
- Community-based HRD, Environmental rights defender
- Perpetrator-State
- Government
- Source
- Monitoring Status
- Active
- Date added
- Aug 21, 2020
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Apr 25, 2020
- Event Description
The Indonesian government should immediately release at least 70 Papuan and Moluccan activists imprisoned for peacefully voicing their political views, Human Rights Watch said today. The government should adopt measures to ensure that police and prosecutors, especially in the eastern provinces, protect free expression rights in accordance with a 2018 constitutional court ruling.
From April 25 to 27, 2020, the police in Maluku arrested 23 activists, including at least two children, who allegedly participated in flag-raising ceremonies commemorating the 70th anniversary of the declaration of independence of the Republic of South Moluccas (Republik Maluku Selatan, RMS) in 1950. The police indicated that seven of the activists will be charged with treason under article 106 of the criminal code, which carries a maximum sentence of life in prison.
�Detaining and prosecuting Papuan and Moluccan activists for peacefully voicing their political views backtracks on the government�s commitments to free expression,� said Andreas Harsono, senior Indonesia researcher at Human Rights Watch. �These activists should never have been imprisoned, and detaining them in the midst of the Covid-19 pandemic could be deadly.�
On April 25, three activists walked openly into the Moluccan police headquarters in Ambon, the capital of Maluku province, carrying the RMS flag. They shouted �Mena muria,� a popular salute among Moluccan people, traditionally used among boat rowers that means, �You go, I follow.� Police arrested the three men � Johanes Pattiasina, Simon Viktor Taihutu, and Abner Litamahuputty � as well as four other activists who unfurled the flags in some other towns.
On April 24, a court in Jakarta, Indonesia�s capital, convicted six Papuan activists for treason and sentenced them to between eight and nine months in prison. The five men and one woman were involved in a rally on August 28, 2019, outside the State Palace in Jakarta, during which they unfurled the Morning Star flag, a symbol of Papuan independence. The rally, involving more than 500 people, was held to protest racist attacks by the police against Papuan students in Surabaya, Java Island, on August 17.
The six activists are among 63 political prisoners in prison for peacefully expressing their political beliefs. On April 15, 2020, their lawyers submitted information on their cases to the United Nations Working Group on Arbitrary Detention.
Human Rights Watch, along with Amnesty International, Kontras, and other human rights groups, have for more than a decade pressed the Indonesian government to release political prisoners.
In May 2015, President Joko �Jokowi� Widodo pardoned and released five Papuan prisoners from Abepura prison, Jayapura. He publicly promised to release all Moluccan and Papuan prisoners, and said he wanted �to stop the stigma of conflict in Papua and to create a sense of peace.� His administration gradually released nearly 100 political prisoners, mostly by reducing sentences.
In January 2018, Indonesia�s Constitutional Court rejected a judicial review to annul the criminal code�s six treason articles, including article 106, but found that those articles were often disproportionally applied against political activists raising the Morning Star flag in Papua and the RMS flag in the Moluccas Islands.
President Jokowi should drop all charges for peaceful political expression, order the release of all political prisoners, and review the failure of law enforcement officers, especially in the Moluccas Islands and Papua and West Papua provinces, to follow the Constitutional Court ruling, Human Rights Watch said.
Concerned governments, including the United States, European Union member countries, and Australia, should raise the situation of Indonesia�s political prisoners in bilateral meetings. The Polish government should raise concerns about the treatment of Jakub Skrzypski, a Polish national who was arrested in West Papua and sentenced in May 2019 to five years in prison under article 106.
Human Rights Watch takes no position on claims to self-determination in Indonesia or in any other country. Consistent with international law, however, Human Rights Watch supports the right of all individuals, including independence supporters, to express their political views peacefully without fear of arrest or other forms of reprisal.
�President Jokowi succeeded in releasing many political prisoners in his first five years in office,� Harsono said. �Jokowi�s second term should not produce as many political prisoners as his predecessor. These cases are a bitter betrayal of his government�s prior policy and contrary to a top court ruling.�
- Impact of Event
- 7
- Gender of HRD
- Other (e.g. undefined, organisation, community)
- Violation
- (Arbitrary) Arrest and Detention, Judicial Harassment
- Rights Concerned
- Freedom of assembly, Offline, Right to liberty and security, Right to Protest, Right to self-determination
- HRD
- Pro-democracy defender
- Perpetrator-State
- Police
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Aug 21, 2020
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Apr 24, 2020
- Event Description
An Indonesian court sentenced six activists to prison on Friday after finding them guilty of treason for participating in a protest last year calling for a self-determination referendum in the restive Papua province.
Surya Anta, Ambrosius Mulait, Charles Kossay, Dano Tabuni, and Arina Elopere were ordered to serve nine months, while Isay Wenda was handed an eight-month prison term during a hearing at the Central Jakarta district court via video link to observe social distancing measures imposed to suppress the COVID-19 pandemic.
�The defendants are guilty of treason," Judge Agustinus Setya Wahyu Triwiranto said during the sentencing.
The activists were arrested in August 2019 after taking part in a rally in Jakarta. Prosecutors accused them of demanding a referendum on self-determination for Papua and waving separatist Morning Star flags in front of the presidential palace.
All but one of the activists are native Papuans.
The protest was among many held across the country amid unrest in Papua triggered by perceived ill-treatment of Papuans on Java island.
Barring an appeal by prosecutors, who had sought an 18-month sentence for each of the activists, Isay Wenda could be released next month, while the rest are expected to walk free in June.
�But I can�t be sure, because it [the release] depends on the prosecutor. If they appeal, it will be different,� Tigor Hutape, a lawyer for the activists, told BenarNews.
�We have not yet communicated with the defendants,� he said. �We will decide later whether to appeal or accept the verdict.�
More than 40 people were killed in the unrest between August and September 2019 in Papua and West Papua provinces, which make up the Indonesian half of New Guinea island.
Jakarta has blamed the separatist United Liberation Movement of West Papua and the National Committee for West Papua for the uprising that started in mid-August, when thousands joined protests calling for a vote on self-determination.
Police arrested dozens of pro-referendum Papuan activists in the wake of the unrest, which prompted authorities to send thousands of additional police and troops to the region.
Human rights groups have urged President Joko �Jokowi� Widodo�s government to release the detainees, whom they described as political prisoners, saying they were at risk of contracting COVID-19 during the pandemic.
On Friday, London-based human rights group TAPOL called for their immediate release, citing statements from Michelle Bachelet, the U.N. High Commissioner for Human Rights, who previously said political prisoners should be among the first to be released amid the pandemic.
�We therefore reiterate the urgency of releasing all political prisoners currently detained in overcrowded prisons where it is impossible to practice physical distancing,� the group said in a statement.
Indonesia reported 436 new infections on Friday, taking its cumulative tally to 8,211, with 42 new fatalities, bringing the country�s death toll to 689.
Earlier this month, more than 60 political prisoners, mostly the Papuan activists detained over pro-independence protests, wrote a letter to the Working Group on Arbitrary Detention and three U.N. special rapporteurs, asking for help in urging Indonesia to release them unconditionally.
�Not only is their detention illegal, it also threatens their safety,� said Jennifer Robinson, one of the human rights lawyers representing them.
The Papua region was incorporated into Indonesia in 1969 after a U.N.-administered ballot known as the Act of Free Choice. Many Papuans and rights groups said the vote was a sham because it involved only 1,000 people.
The provinces of Papua and West Papua make up one-fifth of Indonesia�s land mass but only 5.9 million of Indonesia�s 250 million people live there.
Tensions rose in Papua in December 2018 after separatist rebels allegedly killed 19 members of a crew building a highway in Nduga regency. Authorities immediately sent more than 750 soldiers and police to the region after the killings.
- Impact of Event
- 6
- Gender of HRD
- Man, Woman
- Violation
- Denial Fair Trial, Judicial Harassment
- Rights Concerned
- Freedom of assembly, Offline, Right to liberty and security, Right to Protest, Right to self-determination
- HRD
- Minority rights defender, Pro-democracy defender
- Perpetrator-State
- Judiciary
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Aug 21, 2020
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Apr 22, 2020
- Event Description
A public coalition identified as the �Koalisi Tolak Kriminalisasi dan Rekayasa Kasus� has pressed President Joko �Jokowi� Widodo to release Ravio Patra from prison after the member of the Open Government Partnership Steering Committee (OGP SC) was arrested on late Wednesday night, April 22.
�Stop the criminalization process and stop all acts that attempt to silence other citizens,� said the coalition�s representative and SAFEnet executive director Damar Juniarto in today�s press release.
According to Damar, the police�s legal standing behind Ravio�s arrest is flawed as he said that Ravio recalled his Whatsapp had been hacked.
�When Ravio turned on his Whatsapp, a notice appeared 'You've registered your number on another phone' when he checked his SMS inbox, there was a request for an OTP to be sent,� Damar Juniarto explained.
The message that became central in his arrest read; �Crisis has arrived, time to burn! We must gather and partake in the national simultaneous looting on April 30. All the stores nearby are free to be looted.�
Damar said that Ravio immediately reported the incident to Whatsapp, which was confirmed by the chat app�s head of security that Ravio�s account had been hacked.
He encouraged police to investigate the hacker who used Ravio�s Whatsapp account to send the provocative message instead of arresting Ravio. �The motive behind this is plotting Ravio Patra as the person initiating public unrest,� he said.
- Impact of Event
- 1
- Gender of HRD
- Man
- Violation
- (Arbitrary) Arrest and Detention, Online Attack and Harassment
- Rights Concerned
- Online, Right to healthy and safe environment, Right to liberty and security, Right to privacy
- HRD
- NGO staff
- Perpetrator-State
- Suspected state
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Aug 21, 2020
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Apr 19, 2020
- Event Description
Polisi membubarkan pertemuan di Kantor Walhi Yogyakarta terkait pembahasan kegiatan sosial bagi masyarakat yang terdampak pandemi virus corona atau Covid-19, Sabtu (19/4) kemarin.
Kadiv Advokasi dan Kawasan Walhi Yogyakarta, Himawan Kurniadi, mengatakan pertemuan yang digelar sekitar pukul 19.20 WIB itu membahas soal evaluasi pembagian bantuan pangan dan makser bagi masyarakat.
Namun, di tengah pertemuan, ketua RT, pihak kelurahan, anggota Babinsa hingga anggota Koramil Kecamatan Kotagede mendatangi lokasi dan meminta pertemuan dibubarkan.
"Karena bertentangan dengan Surat Edaran Wali Kota No: 440/820/SE/2020 Tentang Pencegahan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19)," kata Himawan dalam keterangannya, Minggu (19/4).
Padahal menurut Himawan, pertemuan itu sudah dilakukan berdasarkan SOP pencegahan virus corona. Setelah berdiskusi, akhirnya disepakati pertemuan bisa dilanjutkan dengan jumlah peserta berkurang enam orang dan harus selesai pada pukul 22.00 WIB.
Namun, diungkapkan Himawan, sekitar pukul 20.55 WIB, seseorang yang mengaku dari Polsek bersama enam rombongan dengan mobil linmas dan sekitar 40 orang tak dikenal masuk ke dalam ruang pertemuan.
"Memberikan intimidasi, teriak-teriak dengan caci maki, bahkan mengajak beradu fisik. Enam peserta pertemuan tetap tenang, menjaga jarak dan memutuskan untuk meninggalkan tempat untuk menghindari tindakan kekerasan," tutur Himawan.
Walhi menyesalkan aksi pembubaran tersebut. Sebab, dikatakan Himawan, kegiatan sosial yang dilakukan untuk membantu masyarakat di tengah pandemi Covid-19 seharusnya diproteksi, bukan malah direpresi.
"[Menuntut] pemerintah pusat, pemerintah daerah, kepolisian, militer, dan aparat lain menghentikan seluruh tindakan represif terhadap inisiatif-inisiatif baik rakyat dengan kedok Covid-19," ucap Himawan.
Sementara itu, Kapolsek Kotagede Kompol Dwi Tavianto membantah melakukan pembubaran kegiatan pertemuan tersebut. Ia menyebut pihak kepolisian saat itu hanya sekadar memantau sebab ada keramaian warga.
"Enggak ada pembubaran," kata Dwi kepada CNNIndonesia.com, Minggu (19/4).
Dwi menuturkan pertemuan yang digelar di kantor Walhi itu tidak diberitahukan kepada pihak RT setempat. Alhasil, pihak RT pun mendatangi lokasi.
Menurut Dwi, siapapun yang menggelar pertemuan harus lebih dahulu memberitahukan ke pihak lingkungan setempat. Apalagi, saat ini sedang terjadi wabah virus corona.
"Bukan di tengah pandemi saja, kalau ada kegiatan rapat segala macam ya lingkungan sekitar dikasih tahu, ketentuannya kan gitu ya," tutur Dwi.
- Impact of Event
- 1
- Gender of HRD
- Other (e.g. undefined, organisation, community)
- Violation
- Administrative Harassment, Intimidation and Threats
- Rights Concerned
- #COVID-19, Freedom of assembly, Right to healthy and safe environment, Right to information
- HRD
- NGO
- Perpetrator-State
- Government, Police
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Aug 21, 2020
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Mar 23, 2020
- Event Description
Mahasiswa Ternate Bergerak (MARAK) menggelar aksi di kantor DPRD Kota Ternate untuk menolak adanya RUU Omnibus Law dan mendesak pemerintah untuk menangani secara serius penyeraban virus Corona (Covid-19).
Dalam aksi tersebut, setidaknya empat orang mahasiswa ditangkap paksa dan ditahan oleh Polres Ternate, Senin (23/3/2020) dan kemudian dilepaskan pada sore tadi sekitar pukul 17.00 Wita.
Mereka adalah Rudhy, Chay, dan Risdat (ketiganya anggota Pembebasan) dan Andrean (Anggota PMII).
Dilansir dari lpmkultura.com, Awalnya, puluhan mahasiswa berkumpul di tugu Makugawene, Kelurahan Kalamata, Ternate Selatan, menunggu kawan-kawannya yang lain dari arah Ternate Utara menuju ke DPRD untuk melakukan aksi bersama. Namun belum lama kemudian, polisi dengan pelaratan lengkap mengumumkan agar mahasiswa membubarkan diri.
Hingga sekitar pukul 12.35 WIT, polisi langsung merengsek masuk di kerumunan massa yang duduk tepat di pelataran jalan di tugu tersebut dan melakukan tidakan represif terhadap mahasiswa. Mahasiswa langsung dikejar-kejar dan dihujani dengan water cannon hingga massa berhamburan mengamankan diri.
�Kami baru berkumpul, menunggu kawan-kawan yang lain. Tiba-tiba sudah ada imbauan dari Polres agar kami bubar. Disitu, saya langsung di tangkap, dan diseret lalu di pukul,�kata Rudi, salah satu peserta aksi yang kena represif aparat dan ditangkap.
Wajahnya memar, hampir sebagian tubuhnya luka-luka, dibagian pelipis matanya bengkek keluar darah. Dia dipukul oleh polisi dan intel berpakaian preman.
Selain Rudi, ketiga kawannya yang ikut diseret oleh Polres dan katanya diamankan ke lingkungan kantor DPRD yang berjarak hampir 100 meter dari tugu Makugawene itu juga mengalami hal serupa. Badan-badan mereka penuh memar. Menurut pengakuan salah satunya, Dhat, mereka bertiga awalnya lari mengamankan diri di sebuah gudang berdekatan dengan tugu Makugawene, namun polisi berhasil melihat mereka. Ketiganya mengaku dikeroyok oleh polisi di dalam gudang tersebut hingga salah seorang diantara mereka hidungnya keluar darah dan bengkak.
Menurut keterangan Kordinator MARAK, Aslan Syarifudin, padahal rencana aksi itu aksi damai walau tak mengantongi ijin aksi. Dia bilang surat sudah dimasukkan, namun polisi beralasan belum bisa karena antisipasi penyebaran dan penularan virus corona.
�Kalau polisi mau mengambil tindakan persuatif, tapi ini tidak, baru saja aba-aba, langsung bubarkan massa aksi dan tangkap.�katanya.
�Kami juga takut virus corona, pengen sehat, tapi ancaman Omnibus Law inilah yang membuat kami harus bergerak!.�lanjut dia.
Aslan bilang, kawan-kawannya yang longmars dari arah utara sudah sampai di Kelurahan Jati, namun tak bisa lagi melanjutkan perjalanan ke kantor DPRD karena sudah mendapat kabar bahwa rencana aksi menolak Omnibus Law, sebuah regulasi yang menyederhanakan, memangkas, dan menghapus sejumlah aturan itu telah dibubarkan paksa aparat.
Kordinator aksi, Adi Gipantara juga mengatakan, bahwa aksi tersebut belum dilaksanakan, poster dan spanduk belum dibentangkan, mereka masih duduk-duduk menunggu kawan-kawannya dan melakukan breafing terkait imbaun polisi soal tidak bisa aksi dan massa harus membubarkan diri.
�Semua perlengkapan aksi pun belum di buka, tapi masih merapikan massa aksi untuk membicarakan hasil imbauan kepolisian. Dalam perjalannya, baru merapikan kawan-kawan untuk breafing, membicarakan imbauan polisi itu, Ada kawan yang surat diseret, ditangkap, lalu dihujani water cannon, akhirnya bubar,� ujarnya pasca aksi tadi.
Adi menambahkan, bila tadi kawan-kawannya belum dibebaskan dari Polres, mereka akan menggeruduk Polres �Kami sangat mengecam tindakan represif tersebut dan akan membuat pernyataan sikap kecaman,� tambahnya.
Tindakan aparat tersebut, bagi Adi cukup memperburuk situasi demokrasi Indonesia. Represifitas itu menjadi catatan, bagaimana demokrasi kian hari terancam. �Kita akan tetap menolak Omnibus Law, dan perampasan ruang hidup lainnya.�
- Impact of Event
- 4
- Gender of HRD
- Other (e.g. undefined, organisation, community)
- Violation
- (Arbitrary) Arrest and Detention, Intimidation and Threats, Judicial Harassment, Violence (physical)
- Rights Concerned
- #COVID-19, Freedom of assembly, Offline, Right to healthy and safe environment, Right to liberty and security
- HRD
- Student, Youth
- Perpetrator-State
- Government, Police
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Aug 21, 2020
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Mar 21, 2020
- Event Description
Years of conflict between residents of Pagar Batu village and oil palm plantation company PT Artha Prigel in Lahat regency, South Sumatra, reached a climax recently as company security guards allegedly killed two farmers from the village.
Lahat Police chief Adj. Sr. Comr. Irwansyah said a security guard, identified as 38-year-old UB, had been named a suspect for allegedly stabbing the two farmers: Putra, 32, and Sumarlin, 38.
�We are still investigating the case and questioning other witnesses. It is possible that we will name new suspects later,� Irwansyah said.
The conflict has been ongoing since 1993, when the company forced Pagar Batu residents to give up their land in exchange for what they considered paltry compensation. According to the village�s youth forum, the total area of the disputed land is about 180 hectares.
�We�re still defending our land because it is the source of our livelihoods. There�s no more farm land in the village. Where else would we make our livings,� a resident named Andriansyah told The Jakarta Post on Wednesday, adding that the villagers had produced coffee, durian and rubber on the land for generations.
PT Artha Prigel is a subsidiary of PT Bukit Barisan Indah Permai of the Sawit Mas Group. The government granted the company an additional 35-year permit to cultivate the 2000 ha of land in 2006.
After the New Order regime collapsed in 1998, the villagers made an effort to reclaim their land, urging the company to return it 20 years later, in 2018.
Several efforts to bring the two parties to terms have been made but to no avail. Lahat Regent Cik Ujang arranged a proposal for the company to give up 20 percent of its plantation area to villagers under the plasma smallholders scheme, in which the villagers would sell the produce to the company.
The offer was rejected, and villagers kept working the land without an agreement.
On the morning of March 21, the plantation company moved to evict the villagers from the land. A number of company security guards, accompanied by police officers carrying rifles, arrived to enforce the eviction.
Villagers resisted, and violence broke out between the two groups. In addition to the two farmers who died during the clash, two others were injured. They were taken to the Lahat General Hospital.
The clash ended after the police fired warning shots and company security personnel withdrew from the land.
�The dead farmers have been buried. Their graves are a symbol of our fight. The injured farmers are recovering,� said Andriansyah.
Civil society organizations, including the South Sumatra chapter of the Indonesian Forum for the Environment (Walhi) and the Palembang Legal Aid Institute, lambasted what they considered the company�s aggression. They wrote an open letter to President Joko �Jokowi� Widodo.
�We urge the President to evaluate palm oil plantation permits that have been leading to land conflicts,� South Sumatra Walhi executive director Hairul Sobri said.
He said the police should uncover the truth instead of defending one party in the conflict. He said facts had been manipulated regarding the naming of suspects.
�The National Police should also investigate the regional police for providing security assistance to the company during the conflict.�
Pagar Batu villagers have demanded that the government investigate the case thoroughly and work to settle the ongoing land dispute.
PT Artha Prigel spokesperson Yulius Rafli did not respond The Jakarta Post�s request for comment.
- Impact of Event
- 4
- Gender of HRD
- Other (e.g. undefined, organisation, community)
- Violation
- Death, Killing, Violence (physical)
- Rights Concerned
- Right to healthy and safe environment, Right to life
- HRD
- Community-based HRD, Environmental rights defender, Land rights defender
- Perpetrator-Non-State
- Agricultural business
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Aug 21, 2020
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Mar 12, 2020
- Event Description
Aparat kepolisian dari Polresta Malang Kota membubarkan aksi yang dilakukan oleh Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) di perempatan Rajabali, Kota Malang, pada Kamis 12 Maret 2020.
Dari spanduk yang dibentangkan tertulis bahwa mereka menuntut untuk penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua Barat.
Aparat kepolisian membubarkan aksi tersebut karena tidak mengantongi izin. Kapolresta Malang Kota, Kombes Pol. Leonardus Simarmata mengatakan bahwa aksi tersebut bertentangan dengan Undang-Undangan RI, sehingga tidak mengantongi izin.
"Kita ini Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kami tidak diijinkan aksi yang menyuarakan di luar NKRI," tuturnya pada Kamis 12 Maret 2020.
Selain itu, Leo juga menilai bahwa aksi tersebut mengganggu aktivitas dari masyarakat Kota Malang karena menutup akses Jalan Kahuripan menuju Jalan Semeru, Kota Malang.
"Masyarakat Kota Malang perlu beraktivitas karena aksi mereka ini menutup jalan," terangnya.
Maka itu, aparat kepolisian melakukan evakuasi dengan mengembalikan massa aksi yang berjumlah sekitar belasan orang tersebut ke titik awal aksi di Stadion Gajayana, untuk kemudian kembali ke kediaman masing-masing.
Saat proses evakuasi sempat terjadi aksi saling dorong mendorong antara aparat kepolisian dengan massa aksi.
Massa aksi tersebut ingin tetap melakukan orasi di perempatan Rajabali, Kota Malang, Namun kepolisian mengaku sudah memberikan tenggat waktu selama beberapa menit untuk mereka menyampaikan pendapatnya.
"Kami sudah mengakomodir aksi mereka tadi dengan mempersilakan untuk orasi," ujarnya.
Ketika massa aksi diangkut ke dalam truk polisi, mereka terus meneriakkan Papua merdeka.
Aksi yang dilakukan oleh AMP dan FRI-WP ini dilakukan mulai pukul 10.00 WIB dan dibubarkan oleh polisi sekitar pukul 11.00 WIB.
Aksi yang menyuarakan penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua Barat ini dilakukan serentak di 6 wilayah, meliputi Malang, Yogyakarta, Ternate, Gorontalo, Palu dan Jakarta.
- Impact of Event
- 1
- Gender of HRD
- Other (e.g. undefined, organisation, community)
- Violation
- Administrative Harassment
- Rights Concerned
- Freedom of assembly, Freedom of association, Freedom of movement, Offline
- HRD
- NGO staff
- Perpetrator-State
- Police
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Aug 21, 2020
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Mar 7, 2020
- Event Description
Police in Indonesia have jailed three indigenous farmers for allegedly stealing oil palm fruit from a plantation company that is itself accused of stealing their land.
Police in East Kotawaringin district, in the Bornean province of Central Kalimantan, arrested Dilik Bin Asap and Hermanus Bin Bison from Penyang village on Feb. 17. They were accused of harvesting palm fruit on land claimed by the villagers but cultivated illegally by PT Hamparan Masawit Bangun Persada (HMBP), an affiliate of the BEST Group.
On March 7, police arrested prominent land rights activist James Watt in Jakarta, where he had gone to report the earlier arrests to the national human rights commission, known as Komnas HAM, and the witness protection program, or LPSK. They flew him back to Central Kalimantan and charged him with orchestrating the alleged theft by Dilik and Hermanus.
The case has sparked outrage among indigenous rights activists. In the wake of the arrests of Dilik and Hermanus, community members blocked the road leading to PT HMBP�s plantation. Police arrested 11 of them before releasing them shortly after.
The case is the latest in a litany list of land disputes between forest communities and corporate concession holders, with authorities almost invariably siding with the latter each time.
According to the Penyang villagers, PT HMBP has cleared forests and cultivated oil palms on land outside its concession, encroaching onto the community�s land. They have lodged complaints with multiple authorities, including the East Kotawaringin district government and council, and Komnas HAM.
In 2010, the district chief officially declared that PT HMBP was operating outside its concession and ordered it to cede the disputed land back to the community. The following year, the district council determined that the company had illegally planted on 1,800 hectares (4,450 acres), and echoed the district chief�s call to hand the land back to the villagers. Komnas HAM also called on the company to follow through.
But it wasn�t until October 2019 that PT HMBP acted. Even then, it said it would only relinquish control of a fraction of the disputed land � 117 ha, or 290 acres � either completely or partially, offering to manage it in collaboration with the villagers.
The recent arrests stem from this statement, according to Dimas Novian Hartono, the Central Kalimantan director of the Indonesian Forum for the Environment (Walhi): the community took the statement at face value, he said, and believed the land was theirs once again to harvest from. But PT HMBP saw it differently and filed criminal charges against Dilik and Hermanus.
The Central Kalimantan police have denied the arrests are directly linked to the land dispute, characterizing the charges as purely criminal.
But activists call it a blatant attempt by the company to quash opposition to its land grab, citing among other irregularities the late-night arrest of James Watt as he attempted to report the matter to higher authorities in Jakarta. James was previously featured by Mongabay and The Gecko Project in a joint investigative report into the palm oil licensing practices of Darwan Ali, the former head of Central Kalimantan�s Seruyan district.
Arif Nur Fikri, the head of advocacy at the independent NGO Commission for Missing Persons and Victims of Violence (Kontras), said the police should have looked at PT HMBP�s complaints of theft in the wider context of the land dispute.
�This agrarian conflict has received recommendations [in support of the community] from Komnas HAM, the district council, the district chief, and the district land agency,� Arif said.
Arie Rompas, from Greenpeace Indonesia, said the case was another classic example of how corporations wielded the police to crack down on critics.
�The problem is that the police aren�t carrying out their function of upholding justice,� he said. �They worked in response to a complaint filed by the company, which has clearly engaged in illegal activities� by planting outside its concession.
Walhi�s Dimas said his office would continue pressing for the release of and dropping of criminal charges against James, Dilik and Hermanus. A truce with the company is not an option, he added.
�Making peace is the same as acknowledging the presence of the company, which has robbed the people of their land,� Dimas told Mongabay.
- Impact of Event
- 1
- Gender of HRD
- Man
- Violation
- (Arbitrary) Arrest and Detention
- Rights Concerned
- Offline, Right to liberty and security
- HRD
- Land rights defender
- Perpetrator-State
- Police
- Source
- Monitoring Status
- Active
- Date added
- Aug 21, 2020
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Feb 27, 2020
- Event Description
A group of around 10-20 students gathered to conduct a peaceful assembly in Sorong City, with the aim to protest the court ruling issued against the perpetrator of a racist incident in Surabaya in 2019. The incident affected a Papuan citizen, two defendant were found not guilty and one defendant that was found guilty of racist speech was only given 8 months imprisonment. The police dispersed this assembly on the claim that the protestors did not have the permit to stage it (which is not needed according to Indonesian law). The protesters then moved to another spot, Basuki Rahmat Street, to conduct their peaceful assembly which consist of a silent protest while holding signs of aspirations, and sealing their mouth with duct tape. While wrapping up after the protest was over, nine protestors were arrested by the police.
- Impact of Event
- 9
- Gender of HRD
- Other (e.g. undefined, organisation, community)
- Violation
- (Arbitrary) Arrest and Detention
- Rights Concerned
- Freedom of assembly, Offline, Right to liberty and security, Right to Protest
- HRD
- Student
- Perpetrator-State
- Police
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Aug 21, 2020
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Feb 17, 2020
- Event Description
Senin pagi menjelang siang, salah satu pengurus Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Darto dikagetkan dengan kedatangan sekitar 10-15 orang ke sekretariat di Cipinang, Jakarta Timur. Mereka tampak berumur 15-17 tahun dan berteriak-teriak agar KASBI dibubarkan karena menolak omnibus law. �Ada masa tidak jelas menyuarakan bubarkan KASBI. KASBI menghambat omnibus law dan antek asing,� teriak para pendemo seperti dituturkan Darto. Tidak seperti aksi buruh yang tampak sering dihambat meski sudah mengajukan surat pemberitahuan, aksi para pendemo kali ini tampak begitu lancar dan cepat meski mereka mereka tidak melayangkan pemberitahuan. setelah beberapa lama, mereka bergesar dan mengatakan akan melanjutkan unjuk rasa di Kementerian Hukum dan HAM menuntut pembubaran KASBI.
Berikut kronologi lengkap teror ke KASBI
Tak lama setelah aksi, anggota-anggota KASBI segera merapatkan barisan. Tidak hanya itu, solidaritas juga datang dari berbagai organisasi, termasuk dari Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia dan SGBN.
Konfederasi KASBI melihat aksi yang tanpa surat pemberitahuan, mendadak, dan tampak intimidatif ini sebagai sebuah pesan teror. �Ini ada kaitannya dengan apa yang sedang dilakukan KASBI bersama Gerakan Buruh Bersama Rakyat untuk menolak omnibus law RUU Cilaka di mana kita tahu proses pembuatannya sangat misterius, dipaksakan, tidak demokratis dan kita dipaksakan untuk menerima RUU Cilaka,� kata Ketua Umum KASBI Nining Elitos pada Senin, 17 Februari 2020.
KASBI menjelaskan bahwa aksi penolakan bersama Gerakan Buruh Bersama Rakyat dan Fraksi Rakyat Indonesia itu dilatari rancangan undang-undang yang menyengsarakan rakyat. Pasalnya, beleid itu akan mempertinggi kerusakan lingkungan dan memiskinkan buruh. Berbagai perlindungan buruh di UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan bakal direvisi. Alhasil, kontrak dapat dilakukan tanpa batasan waktu dan jenis pekerjaan, upah minimum kabupaten/kota dihapus, upah akan diganti per jam, dan pengusaha tidak diwajibkan membayar cuti hamil, haid, dan menikah. Cuti besar juga akan dihapus dan parahnya tidak ada sanksi pidana bagi pengusaha pelanggar hukum. �Yang akan mendapat kerugian penderitaan dan kesengsaraan itu rakyat Indonesia. Bak buruh pemuda pelajar tani, lingkungan, masyarakat adat dan nelayan,� imbuh Nining.
Terkait aksi teror tersebut, KASBI menyatakan mengecam aksi tersebut. �Dalam ruang demokrasi seharusnya kebbeasan menyampaikan pendapat tentang persoalan rakyat kritik berbagai regulasi dan kebijakan seharusnya didengar, bukan kemudian membuat teror bagi rakyat yang tengah berjuang,� serunya.
KASBI juga mengaskan bahwa mereka tidak akan mencabut tuntutan melawan omnibus law RUU Cilaka. Alih-alih, teror tersebut malahan akan semakin membakar perlawanan rakyat. �Hentikanlah rezim melakukan cara-cara seperti ini, bukan membuat rakyat semakin lemah, tapi akan semakin menguatkan kekuatan konsolidasi rakyat,� tegasnya.
Tingkatkan Kewaspadaan dan Persatuan
Setelah kejadian itu, Konfederasi KASBI akan meningkatkan pengamanan. KASBI akan menugaskan barisan pelopor BARA KASBI untuk berjaga secara bergantian. Tidak hanya KASBI, organ-organ lain yang kritis terhadap omnibus law RUU Cilaka juga dinilai mesti meningkatkan pengamanan.
Selain mengecam aksi teror di sekretariat KASBI, Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) juga memperingatkan bahwa aksi teror ini mungkin baru permulaan. Ketua Umum KPBI Ilhamsyah menyebutkan pola teror serupa pernah dilancarkan ketika pemerintah dan DPR getol menupayakan revisi UU KPK yang melemahkan pemberantasan korupsi. Ketika itu, bahkan gedung KPK sempat dilempari batu dan dirusak ketika banyak pegawainya bekerja. �Mereka tidak akan berhenti sampai tujuan mereka terpenuhi,� kata Ilhamsyah.
Selain itu, KPBI juga menyerukan agar berbagai gerakan perlu meningkatkan persatuan. Sebab, serangan terhadap gerakan-gerakan yang menolak omnibus law RUU Cilaka mungkin akan kembali terjadi. Gerakan rakyat juga perlu memperkuat konsolidasi agar perjuangan menolak omnibus law RUU Cilaka berhasil.
Sebelumnya, KASBI bersama GEBRAK dan Fraksi Rakyat Indonesia lantas menyuarakan penolakan terhadap RUU Cilaka. Pada 13 Januari 2020 GEBRAK melancarkan aksi ke DPR RI menolak rancangan undang-undang yang pembahasan draftnya berlangsung secara misteris itu.
KASBI bahkan menolak untuk masuk dalam Tim Koordinasi Pembahasan dan Konsultasi Publik Substansi Ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja. Alasannya, ada itikad tidak baik ketika buruh tidak dilibatkan dari awal dan terkesan tampak sebagai pemberi stempel bagi usulan pemerintah. Selain KASBI, kelompok buruh yang menolak bergabung dalam tim tersebut adalah Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia.
- Impact of Event
- 1
- Gender of HRD
- Other (e.g. undefined, organisation, community)
- Violation
- Intimidation and Threats
- Rights Concerned
- Freedom of association, Offline, Right to healthy and safe environment
- HRD
- Labour rights defender, NGO
- Perpetrator-State
- Unknown
- Perpetrator-Non-State
- Unknown
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Aug 21, 2020
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Feb 17, 2020
- Event Description
Police in Indonesia have jailed three indigenous farmers for allegedly stealing oil palm fruit from a plantation company that is itself accused of stealing their land.
Police in East Kotawaringin district, in the Bornean province of Central Kalimantan, arrested Dilik Bin Asap and Hermanus Bin Bison from Penyang village on Feb. 17. They were accused of harvesting palm fruit on land claimed by the villagers but cultivated illegally by PT Hamparan Masawit Bangun Persada (HMBP), an affiliate of the BEST Group.
On March 7, police arrested prominent land rights activist James Watt in Jakarta, where he had gone to report the earlier arrests to the national human rights commission, known as Komnas HAM, and the witness protection program, or LPSK. They flew him back to Central Kalimantan and charged him with orchestrating the alleged theft by Dilik and Hermanus.
The case has sparked outrage among indigenous rights activists. In the wake of the arrests of Dilik and Hermanus, community members blocked the road leading to PT HMBP�s plantation. Police arrested 11 of them before releasing them shortly after.
The case is the latest in a litany list of land disputes between forest communities and corporate concession holders, with authorities almost invariably siding with the latter each time.
According to the Penyang villagers, PT HMBP has cleared forests and cultivated oil palms on land outside its concession, encroaching onto the community�s land. They have lodged complaints with multiple authorities, including the East Kotawaringin district government and council, and Komnas HAM.
In 2010, the district chief officially declared that PT HMBP was operating outside its concession and ordered it to cede the disputed land back to the community. The following year, the district council determined that the company had illegally planted on 1,800 hectares (4,450 acres), and echoed the district chief�s call to hand the land back to the villagers. Komnas HAM also called on the company to follow through.
But it wasn�t until October 2019 that PT HMBP acted. Even then, it said it would only relinquish control of a fraction of the disputed land � 117 ha, or 290 acres � either completely or partially, offering to manage it in collaboration with the villagers.
The recent arrests stem from this statement, according to Dimas Novian Hartono, the Central Kalimantan director of the Indonesian Forum for the Environment (Walhi): the community took the statement at face value, he said, and believed the land was theirs once again to harvest from. But PT HMBP saw it differently and filed criminal charges against Dilik and Hermanus.
The Central Kalimantan police have denied the arrests are directly linked to the land dispute, characterizing the charges as purely criminal.
But activists call it a blatant attempt by the company to quash opposition to its land grab, citing among other irregularities the late-night arrest of James Watt as he attempted to report the matter to higher authorities in Jakarta. James was previously featured by Mongabay and The Gecko Project in a joint investigative report into the palm oil licensing practices of Darwan Ali, the former head of Central Kalimantan�s Seruyan district.
Arif Nur Fikri, the head of advocacy at the independent NGO Commission for Missing Persons and Victims of Violence (Kontras), said the police should have looked at PT HMBP�s complaints of theft in the wider context of the land dispute.
�This agrarian conflict has received recommendations [in support of the community] from Komnas HAM, the district council, the district chief, and the district land agency,� Arif said.
Arie Rompas, from Greenpeace Indonesia, said the case was another classic example of how corporations wielded the police to crack down on critics.
�The problem is that the police aren�t carrying out their function of upholding justice,� he said. �They worked in response to a complaint filed by the company, which has clearly engaged in illegal activities� by planting outside its concession.
Walhi�s Dimas said his office would continue pressing for the release of and dropping of criminal charges against James, Dilik and Hermanus. A truce with the company is not an option, he added.
�Making peace is the same as acknowledging the presence of the company, which has robbed the people of their land,� Dimas told Mongabay.
- Impact of Event
- 2
- Gender of HRD
- Man
- Violation
- (Arbitrary) Arrest and Detention, Judicial Harassment
- Rights Concerned
- Right to liberty and security
- HRD
- Indigenous peoples' rights defender
- Perpetrator-State
- Police
- Source
- Monitoring Status
- Active
- Date added
- Aug 21, 2020
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Feb 5, 2020
- Event Description
Security PT Nusa Wana Raya (NWR) diduga melakukan intimidasi dan kekerasan terhdap wartawan di lahan plasma warga di Desa Gondai, Kecamayan Langgam, Pelalawan, Riau. Akibatnya wartawan MNC Media Indra Yoserizal terluka akibat ditendang dan dipukul securiti.
"Saya ditendang, dipukul hingga diseret," kata Indra Yoserizal, reporter MNC Media kepada pers di lokasi kejadian, Rabu (5/2/2020).
Tak hanya dianiaya, perangkat kerja berupa kamera milik Indra juga dirampas dan sampai sekarang belum dikembalikan oleh security NWR.
Atas peristiwa itu Indra berniat melaporkan insiden itu ke kepolisian dan meminta perlindungan ke Dewan Pers.
"Saya berniat melaporkan kejadian ini ke Polres Pelalawan atau Polda," katanya.
Kejadian berawal saat Indra datang bersama rekan media lainnya pada pukul 10.00 WIB ke lokasi eksekusi lahan di Gondai.
Saat itu situasi sedang memanas, antara warga dengan security perusahaan NWR yang saling lempar batu hingga kemudian terjadi pengejaran oleh ratusan security NWR terhadap warga.
"Ketika itu saya sedang mendokumentasikan peristiwa, berlindung di areal perkebunan. Sudah saya jelaskan saya wartawan, tapi tetap dipukul dan kamera dirampas, dirusak juga," kata Indra.
Indra menjelaskan, saat itu dia sedang merekam aksi pemukulan terhadap sejumlah warga yang berlarian.
Indra menjelaskan, setelah sempat dianiaya, pihaknya juga sempat disekap oleh segerombolan security hingga diintervensi.
Dikatakannya, sampai sekarang kameranya belum dikembalikan, padahal ada rekaman peristiwa pada saat itu.
Humas Polres Pelalawan Iptu Edy yang ditemui di lokasi mengakui prihatin atas insiden yang menyebabkan luka jurnalis MNC Media.
"Kami sangat menyayangkan kejadian inj, dan saya berharap teman-teman pers lebih hati-hati dalam menjalankan tugasnya," kata dia.
Ketika peristiwa bentrok berlangsung, aparat kepolisian belum berada di lokasi kejadian.
Ratusan personel polisi baru tiba di lokasi setelah insiden bentrok mereda, namun hingga siang pukul 11.45 WIB situasi di Gondai masih mencekam.
Ratusan masyarakat terus berdatangan dengan membawa benda tumpul dan benda tajam.
"Kami tidak takut mati untuk mempertahankan kebun yang menjadi matapencaharian kami," kata Siti, seorang ibu pemilik kebun plasma di Desa Gondai.
- Impact of Event
- 1
- Gender of HRD
- Man
- Violation
- Violence (physical)
- Rights Concerned
- Offline, Right to healthy and safe environment
- HRD
- Media Worker
- Perpetrator-Non-State
- Agricultural business
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Aug 21, 2020
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Feb 5, 2020
- Event Description
Aksi unjuk rasa mewarnai kunjungan kerja Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Bengkulu, Rabu (05/02/2020). Massa aksi Aliansi Mahasiswa Berdaulat yang turun ke jalan itu bahkan sempat terlibat kericuhan dengan aparat.
Kericuhan itu dipicu silang pendapat antara petugas keamanan dengan mahasiswa terkait legalitas unjuk rasa. Versi polisi aksi itu belum didahului dengan surat pemberitahuan. Sementara mahasiswa menyatakan mereka sudah melayangkan surat itu pada tanggal 3 Februari 2020.
Puncaknya terjadi setelah proses negosiasi buntu. Aparat bergerak guna membubarkan massa. Sedang mahasiswa melawan dengan bertahan.
Kericuhan pun pecah. Aksi di seberang SMPN 3 Kota Bengkulu yang semula kondusif itu seketika berubah refresif.
Atas insiden itu, M Fauzan Hanif, Presiden Mahasiswa UNIB mengaku sangat kecewa. Menurut dia, apa yang dilakukan mahasiswa adalah bentuk cinta dan kepedulian menyikapi berbagai persoalan bangsa saat ini.
�Kami ingin menyampaikan aspirasi secara langsung karena banyaknya permasalahan yang terjadi saat ini di negara kita tercinta kepada presiden. Namun yang terjadi ada upaya pembatasan dan tindakan-tindakan yang tidak selayaknya kami dapatkan oleh pihak aparat. Perjuangan ini belum usai!� tegas Fauzan.
Senada, Wakil Presiden Mahasiswa UMB, Puji Hendri Julita Sari, mengaku sanggat menyanyangkan tindakkan referensif aparat yang membatasi dan menghalangi aksi mahasiswa yang ingin menyampaikan aspirasi rakyat.
�Pada hari ini sejatinnya suara mahasiswa dibungkam. Baru beberapa menit massa aksi menyampaikan aspirasi di mimbar bebas justru dibubarkan secara paksa dan referensif oleh pihak keamanan. Kami datang dengan argumentasi, tidak selayaknya dijawab dengan kekerasan dan tindakan referensif aparat,� protes Puji.
Kericuhan mahasiswa versus aparat itu sendiri sempat diwarnai penangkapan empat aktivis mahasiswa. Mereka sempat ditahan sebelum dilepaskan dan kembali bersama dengan rekan-rekannya.
Empat aktivis itu adalah Kelvin Aldo, Elekusman, Abdullah, dan Aditya Andala Pratama.
�Keadaan mereka sekarang alhamdulilah baik-baik saja, nggak ada yang ditahan sama polisi dan kami pergi sama-sama begitu juga pulang dengan sama-sama. Terimah kasih,� terang Wakil Presiden Mahasisa Unihaz, Lia, yang dikonfirmasi sahabatrakyat.com, Rabu malam.
Demo mahasiswa itu sendiri mengusung sembilan tuntutan kepada Presiden Jokowi, yakni:
- Mendesak Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perpu terhadap UU No.19 tahun 2019 tentang Komisi Pemberatasan tindak pidana Korupsi;
- Mendesak Presiden Joko Widodo untuk menuntaskan permasalah korupsi.
- Mendesak presiden Joko Widodo untuk membatalkan kenaikan iuran BPJS, sesuai dengan pasal 28 H ayat 1 UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945;
- Menuntut Presiden Joko Widodo selaku pemegang kekuasaan pemerintahan untuk menutup PLTU batu bara Teluk Sepang;
- Mendesak Presiden Joko Widodo untuk segera memangkas hutang luar negeri dan membuka akses keterbukaan informasi terkait hutang luar negeri Indonesia;
- Mendesak Pemerintah segera menuntaskan kasus HAM dan menjamin kebebasan berpendapat bagi setiap warga negara di muka umum;
- Mendesak Presiden untuk memastikan anggaran pendidikan terealisasikan di tiap daerah dan meminta Jokowi untuk turut andil dalam perbaikan pendidikan yang merata di Bengkulu.
- Mendesak Presiden Joko Widodo untuk memastikan karhutla tidak terjadi kembali, tindak tegas terhadap oknum pembakaran hutan baik pribadi maupun korporasi.
- Mendesak Presiden Joko Widodo mengentaskan permasalahan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan di Indonesia, terkhusus provinsi Bengkulu.
- Mendesak Presiden Joko Widodo mengoptimalkan tim audit untuk menuntaskan BUMN bermasalah.
- Impact of Event
- 4
- Gender of HRD
- Other (e.g. undefined, organisation, community)
- Violation
- (Arbitrary) Arrest and Detention
- Rights Concerned
- Freedom of assembly, Offline, Right to liberty and security
- HRD
- Student
- Perpetrator-State
- Police
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Aug 21, 2020
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Jan 29, 2020
- Event Description
Komite Keselamatan Jurnalis mengecam pemidanaan terhadap jurnalis berita.news Muhammad Asrul dengan pasal ujaran kebencian Pasal 28 ayat 2 UU ITE jo. Pasal 156 KUHP dan pasal perbuatan menimbulkan keonaran Pasal 14 dan 15 UU Nomer 1 Tahun 1946. Kasus ini seharusnya diselesaikan dengan mekanisme sengketa pers sesuai dengan Nota Kesepahaman Dewan Pers dan Kapolri dan UU Pers.
"Pemidanaan ini menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers di Indonesia. Sengketa pers sudah selayaknya diselesaikan dengan mekanisme UU Pers. Karena itu, Komite Keselamatan Jurnalis mendesak polisi segera membebaskan Asrul atas kasus ini. Kapolri juga perlu mengevaluasi anggota polisi yang menangani kasus ini karena tidak bisa membedakan kasus sengketa pers dengan kasus lainnya," ujar Koordinator Komite Keselamatan Jurnalis Sasmito Madrim.
"Dan jika ada kasus-kasus yang tidak berkaitan dengan UU Pers, silakan saja diproses dengan menggunakan UU lain. Bukan sebaliknya mengkriminalisasi karya jurnalistiknya."
Pada 14 Juni 2019, Muhammad Asrul diadukan ke polisi dengan aduan pencemaran nama baik oleh Farid Karim Judas karena tiga berita dugaan korupsi yang dituliskannya di media online berita.news pada 10, 24, dan 25 Mei 2019. Tiga tulisan yang dipermasalahkan itu berjudul �Putra Mahkota Palopo Diduga �Dalang� Korupsi PLTMH dan Keripik Zaro Rp11 M�, tertanggal 10 Mei 2019, �Aroma Korupsi Revitalisasi Lapangan Pancasila Palopo Diduga Seret Farid Judas� tertanggal 24 Mei 2019, dan �Jilid II Korupsi jalan Lingkar Barat Rp5 M, Sinyal Penyidik Untuk Farid Judas?� tertanggal 25 Mei 2019.
Sekitar bulan Juli 2019, Asrul mendapat surat panggilan dari penyidik dan Asrul kemudian memberikan klarifikasi bahwa kasus yang menjeratnya adalah kasus pers yang seharusnya melalui mekanisme sengketa pers sesuai dengan Pasal 1, 5, 11, dan 15 UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers. Lalu tidak ada tindak lanjut.
Hak Jawab Sudah Dberikan, Tetap Dipolisikan
Pada 4 November 2019, Kuasa Hukum Farid Kasim Judas mengirimkan surat somasi berupa permintaan hak jawab dan permintaan maaf oleh media Berita News terkait berita yang memuat tentang dirinya. Hak jawab tersebut dimuat di portal Berita News pada 6 November 2019.
Namun, pemuatan Hak Jawab yang sebenarnya merupakan bagian dari penyelesaian sengketa pers sebagaimana diatur oleh UU Pers, ternyata dianggap tidak cukup.
Pada 17 Desember 2019, Farid Kasim Judas membuat aduan yang tercatat dalam Laporan Polisi Nomor: LPB / 465/ XII / 2019 / SPKT. Polisi pun segera menindaklanjuti laporan itu dengan penangkapan, sesuatu yang amat berlebihan.
Pada 29 Januari 2020 pukul 13.05 WITA Muhammad Asrul dijemput paksa dari rumahnya oleh kepolisian. Selanjutnya ia dibawa ke Polda Sulawesi Selatan untuk dimintai keterangan tanpa didampingi oleh penasihat hukum. Muhammad Asrul mulai diperiksa dan menjalani BAP oleh penyidik sejak pukul 15.30 WITA sampai 20.30 WITA.
Namun, begitu selesai menjalani BAP, Muhammad Asrul tidak diperbolehkan pulang. Ia langsung ditahan di Rutan Mapolda Sulsel tanpa pemberitahuan kepada pihak keluarga ataupun pihak Berita News sejak 30 Januari 2020. Barulah pada 31 Januari 2020 keluar Surat Pemberitahuan Penahanan Nomor B/70/I/2020/Ditreskrimsus untuk Muhammad Asrul yang ditujukan kepada keluarga.
"Kasus ini menambah daftar panjang kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia. Padahal kita tahu kemerdekaan pers merupakan syarat mutlat untuk mendorong pemerintahan yang bersih, bebas dari korupsi. Tapi bagaimana ini bisa tercapai jika produk-produk jurnalisme dikriminalisasi," tambah Sasmito.
Sasmito juga mengatakan hal ini akan membuat indeks kemerdekaan pers Indonesia semakin terpuruk. Reporters Without Borders (RSF) menempatkan Indonesia di peringkat, di bawah Timor Leste dan Malaysia.
Berdasarkan kronologi dan kondisi tersebut, Komite Keselamatan Jurnalis menilai kasus ini merupakan sengketa pers yang seharusnya mengikuti mekanisme penyelesaian sesuai Nota Kesepahaman Dewan Pers dan Kapolri. Kriminalisasi terhadap Asrul dengan menggunakan UU ITE merupakan preseden buruk dan memperpanjang daftar penyalahgunaan UU ITE untuk menjerat jurnalis dalam karya-karyanya sekaligus mengancam sikap kritis warga terhadap dugaan kasus korupsi.
Atas perkara tersebut, KKJ menyatakan hal sebagai berikut:
- Menuntut agar Polda Sulsel segera membebaskan Muhammad Asrul dan menghentikan perkara ini.
- Mendesak agar perkara ini dibawa ke Dewan Pers dan menyelesaikannya dengan mekanisme sengketa pers, bukan dengan menggunakan pasal-pasal karet dalam UU ITE.
- Meminta agar pemerintah segera merevisi pasal karet UU ITE yang rawan digunakan untuk mengkriminalisasi jurnalis, terutama media daring.
- Menyarankan agar semua pihak menghentikan penggunaan pasal-pasal karet dalam UU ITE untuk menjerat kebebasan berekspresi, termasuk kebebasan pers, melalui media daring dan media sosial.
- Impact of Event
- 1
- Gender of HRD
- Man
- Violation
- (Arbitrary) Arrest and Detention
- Rights Concerned
- Online, Right to liberty and security
- HRD
- Media Worker
- Perpetrator-State
- Police
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Aug 21, 2020
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Jan 24, 2020
- Event Description
Pelajar dan mahasiswa eksodus asal kabupaten Timika, Papua, mengecam dan mengutuk keras tindakan Kepolisian Resort (Polres) kabupaten Mimika membubar paksa aksi demo damai berujung penangkapan yang dilakukan, Jumat (24/1/2020) kemarin, di halaman kantor Bupati Mimika.
Hal tersebut disampaikan ketua posko umum eksodus Papua, Eko Philipus Kogoya, karena dinilainya aparat kepolisian sengaja berupaya mau menggiring aksi damai ke tindakan kriminal.
�Aksi kawa-kawan adalah aksi damai. Maka tindakan aparat, kami kutuk. Heran belum sampai pada pembacaan sikap, masa aksi dibubarkan secara paksa tanpa ada ruang berekspresi sedikitpun dikasih oleh kepolisian Mimika,� ujar Eko, melalui pers release yang diterima suarapapua.com, Jumat.
- Impact of Event
- 3
- Gender of HRD
- Man
- Violation
- (Arbitrary) Arrest and Detention, Violence (physical)
- Rights Concerned
- Freedom of assembly, Offline, Right to healthy and safe environment, Right to liberty and security
- HRD
- Student
- Perpetrator-State
- Police
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Aug 21, 2020
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Feb 4, 2020
- Event Description
MNC group journalist Indra Yoserizal was attacked by security officers from a forestry company while covering a clash between the company and residents in Pelalawan, Riau province on the island of Sumatra on February 4. The International Federation of Journalists (IFJ) and its affiliate the Alliance of Independent Journalists (AJI) Indonesia call on authorities for direct investigation of the company to ensure the perpetrators are identified and brought to justice.
Yoserizal and several other journalists were covering the land conflict between the forestry company and residents at Gondai village, Pelalawan - a regency of Riau. The origins of the dispute stemmed from Nusa Wana Raya’s recent Supreme Court victory against another companyPeputra Supra Jaya, which it accused of operating an illegal palm plantation on the land.
Many residents involved in the conflict worked as plasma farmers and collaborated with Peputra Supra Jaya. Plasma smallholders are palm oil farmers who partner with a local company providing technical support as part of an overall agreement to sell their produce to that company. The Pelalawan farmers continue to claim Nusa Wana Raya took their land.
In the clash, around 100 Nusa Wana Raya security officers and residents confronted one another, with each side hurling stones. Yoserizal filmed security officers throwing stones after which several security officers grabbed and kicked the journalist. Security officers continued the attack even after Yoserizal had identified himself as a television journalist. They also detained Yoserizal and seized his equipment, which is yet to be returned. Yoserizal suffered bruising to his body and hands. He reported the case to the Pekanbaru Regional Office with the report letter No. STPL/69/II/ 2020/SPKT/RIAU. The company subsequently issued an apology, but the journalist is pursuing legal action for the attack.
In a joint statement with the Indonesian Journalists Safety Committee, AJI urged police to investigate the matter and punish all perpetrators. Under Indonesia’s Press Law, perpetrators who deliberately obstruct journalists’ work can be jailed up to two years or fined up to 500 million rupiahs (USD 36,000).
AJI said: “We also demanded the company or Nusa Wana Raya to impose sanctions to those offenders . . . We call all the parties in the country to respect journalists and protect them while they are on duty.”
- Impact of Event
- 1
- Gender of HRD
- Man
- Violation
- Violence (physical)
- Rights Concerned
- Offline, Right to healthy and safe environment
- HRD
- Media Worker
- Perpetrator-Non-State
- Agricultural business
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Mar 3, 2020
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Dec 11, 2019
- Event Description
Mohammad Sadli Saleh, the chief editor of Liputanpersada.com was arrested for publishing an article covering alleged corruption connected to road construction in Central Buton district, South East Sulawesi. The International Federation of Journalists (IFJ) and its affiliate the Alliance of Independent Journalists (AJI) Indonesia condemn the arrest and urge authorities to release Sadli from prison.
Sadli published the article on July 10, 2019 questioning the budget of the road construction project but was not arrested until five months later on December 17, 2019. Sadli’s article was originally published on Liputanpersada.comand widely circulated on various Facebook and WhatsApp groups; the website was later taken down.
The head of Central Buton district reported Sadli to the police on July 27, 2019, accusing him of violating the Electronic and Information and Transactions (ITE) Law. The police charges alleged that Sadli’s article was defamatory and spread information that might insight hatred.
Police put Sadli under city arrest on December 11, 2019 and
seized his notebook for evidence. On December 17, 2019, the prosecutor’s office took over the case and Sadli was arrested. Sadli’s trial began on January 20, 2020. He remains incarcerated and faces up to six years in prison if convicted.
The case has had far reaching impacts beyond Saldi, including the termination of his wife’s employment. Sadli’s wife, Siti Marfuah who worked for the Local House of Representative of Regency Central Buton (DPRD) since 2015 was asked by her employer to persuade her husband to stop covering the corruption related to the road construction. Marfuah was later fired.
AJI noted the libel case against Sadli violates the Press Law. According to AJI, Article 15 of the Press Law says it is the role of the Press Council to solve complaints made by the public on the press’ reportage, not the government. Further, the police have signed a Memorandum of Understanding with the Press Council stating if the police receive disputes between journalists and the public, the police must follow the conflict resolution scheme in the Press Law.
“We demand the authorities follow the Press Law and the MoU and urge the revision of the ITE Law to drop the elastic clauses which can be used to criminalized journalists. We ask the head of the district of Central Buton to respect press freedom and journalists’ safety,” AJI added.
The IFJ said: “The Press Council mechanisms were enacted to resolve disputes between the media and the public. Escalating the case to a criminal matter undermines Sadli’s ability to work as a journalist and corrodes press freedom in Indonesia. The IFJ condemns the arrest and urges the government to release Sadli from custody.”
- Impact of Event
- 1
- Gender of HRD
- Man
- Violation
- (Arbitrary) Arrest and Detention, Judicial Harassment
- Rights Concerned
- Media freedom, Online, Right to liberty and security
- HRD
- Media Worker
- Perpetrator-State
- Judiciary, Police
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Mar 3, 2020
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Jan 7, 2020
- Event Description
West Sumatra Police reportedly arrested an activist from Inter-Community Studies Center (Pusaka) Sudarto for allegedly spreading hate speech through social media regarding Christmas celebration in Dharmasraya Regency.
“He is arrested at his house,” West Sumatra Police spokesman Sr. Comr. Stefanus Satake Bayu Setianto verified in Padang, Tuesday, January 7. He said Sudarto was secured at 1:30 p.m. at his house located on Jalan Veteran, Purus.
Stefanus explained that Sudarto deliberately distributed information that triggered individual or group hostility based on ethnicity, religion, and race (SARA) and hoax news via Facebook.
Sudarto, he added, was still undergoing examination at the police headquarters.
Sudarto faced charges of Article 45 (A)2 in conjunction with Article 28 of Law No. 19 of 2016 on the amendment of Law No. 11 of 2008 on Electronic Information and Transaction or ITE Law and Article 14 (1) and (2) of the 1946 Criminal Code.
“He has been named a suspect and will undergo the further process,” Stefanus said.
Previously, the head of a youth group Pemuda Jorong Kampung Baru of Nagari Sikabau, Harry Permana, filed a police report on December 29 against Sudarto for allegedly spreading false information in light of the ban on Christmas celebration in the region. Sudarto made the post on December 14-15.
Harry clarified that Nagari Sikabau had never restricted the Christmas celebration but rather prohibited people from outside the region to hold or celebrate it in the area.
Human rights communities condemned the arrest of Sudarto. Deputy chief of Setara Institute Bonar Tigor Naipospos said the case was a new strategy from intolerant groups to silence critical people on social media. "Unfortunately, the law enforcers tend to favor the majority group," Bonar said.
- Impact of Event
- 1
- Gender of HRD
- Man
- Violation
- (Arbitrary) Arrest and Detention, Judicial Harassment
- Rights Concerned
- Online, Right to liberty and security
- HRD
- Freedom of religion/belief activist, NGO staff
- Perpetrator-State
- Judiciary, Police
- Source
- Monitoring Status
- Active
- Date added
- Mar 3, 2020
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Dec 19, 2019
- Event Description
An Indonesian prosecutor charged five men and a woman with treason on Thursday, accusing them of organizing a protest in Jakarta demanding independence for the easternmost province of Papua.
The peaceful protest of about 100 people had been held outside the presidential palace and military headquarters on Aug. 28 and followed a period of unrest in Papua.
Prosecutor P. Permana read out the indictment in the Central Jakarta court saying the six defendants had organized a rally demanding the Indonesian government allow a vote in Papua to let it separate from Indonesia One of the six waved the "Morning Star" flag, while dancing and singing, the indictment said. The flag is a banned symbol of Papuan nationhood.
"The action by the defendants is treason with the aim to separate Papua province and West Papua province from the unitary state of Indonesia," said Permana.
There was a small protest outside the court on Thursday held by pro-Papuan activists calling for the release of the six.
The six could face up to 20 years in jail if found guilty.
A hearing for the defense is due on Jan. 2, but the six have said it was their constitutional right to participate in the rally.
Resource-rich Papua was a Dutch colony that was incorporated into Indonesia after a controversial U.N.-backed referendum in 1969. The region has since endured decades of mostly low-level separatist conflict.
- Impact of Event
- 6
- Gender of HRD
- Man, Woman
- Violation
- Judicial Harassment
- Rights Concerned
- Freedom of association, Offline, Right to Protest
- HRD
- Indigenous peoples' rights defender
- Perpetrator-State
- Judiciary
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Jan 9, 2020
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Dec 10, 2019
- Event Description
Police officers grabbed the phone of IDN Times journalist Helmi Shemi, deleting his footage of the Jakarta protests on Human Rights Day. The International Federation of Journalists (IFJ) and its affiliate the Alliance of Independent Journalists (AJI) Indonesia condemn the attack and demand authorities investigate the incident to hold the perpetrators to account.
During the protest, two police officers wedged a demonstrator between their police motorcycles. Shemi recorded the incident on his phone when a police officer confronted Shemi demanding to know where he worked. Shemi showed his press card but the police still grabbed his phone. Shemi recalls: “My phone was grabbed by one of the police officers who held it for around five minutes and deleted the video I took earlier”.
December 10 marked Human Rights Day, the anniversary of the creation of the Universal Declaration of Human Rights, In Indonesia, the Press Law guarantees freedom of the press and the Press Council and the Indonesian National Police have signed a memorandum of understanding to protect the press freedom.
AJI demand that the violence and intimidation against journalists is investigated, and perpetrators are punished under the relevant laws in Indonesia.
The IFJ said: “Violence against journalists remains the largest challenge for journalists in Indonesia. On Human Rights Day, it speaks volumes of the state of media freedom in Indonesia when police attack a journalist for reporting on protests which advocate for human rights. The IFJ urge the police to respect journalists’ rights and stop employing excessive force when handling protests.”
- Impact of Event
- 1
- Gender of HRD
- Man
- Violation
- Violence (physical)
- Rights Concerned
- Offline, Right to healthy and safe environment
- HRD
- Media Worker
- Perpetrator-State
- Police
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Dec 18, 2019
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Oct 6, 2019
- Event Description
Human rights activist and the legal council coordinator for the Indonesian Forum for the Environment (Walhi), Golfrid Siregar died on Sunday, October 6th, at the Haji Adam Malik Medan (RSUP HAM) general hospital.
The environmental watchdog’s North Sumatra council member Sumiati Surbakti urged police to investigate Golfrid’s death as she believes he was murdered. She maintains to deny Golfrid’s head injury as a result of a traffic accident.
“There were no bloodstains whatsoever found in the location that police refer to. There was wet soil found in his pants, and there are not wet soil at a flyover. It is clear that he was executed outside of the flyover. Police must investigate this, he is an environmentalist activist and human rights defender,” said Sumiati on Sunday.
According to reports, Golfrid Siregar was initially found with severe injuries to his head as it states he was found unconscious by a rickshaw driver with a destroyed cranium on Thursday, October 3, 2019, at around 01:00 Western Indonesia Time (WIB) at the Simpang Post flyover in Medan.
Golfrid was pronounced missing on the previous day of Wednesday, October 2. He initially departed from his home to meet an individual in the area of Marindal, which he was since unable to be contacted.
The rickshaw driver who found Golfrid then took him to the Mitra Sejati hospital and was unable to be submitted to the hospital without a name as he did not carry any form of identity. Not long after, the police came and took Golfrid to the RSUP HAM at 03:00 WIB.
Golfrid Siregar had undergone immediate surgery but was pronounced dead not long after due to the severity of his injury. His backpack containing his laptop, wallet, and ring was missing.
The North Sumatra Walhi suspects foul play was involved as they did not find any injury commonly found in victims of traffic accidents apart from Golfrid’s head injury that they suspect was caused by a massive blow to the head by a blunt object.
- Impact of Event
- 1
- Gender of HRD
- Man
- Violation
- Death, Killing, Violence (physical)
- Rights Concerned
- Right to life
- HRD
- Environmental rights defender
- Perpetrator-Non-State
- Suspected non-state
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Oct 15, 2019
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Sep 27, 2019
- Event Description
The Metro Jaya Police has arrested human rights activist Ananda Badudu for raising funds to support the nationwide students protest via KitaBisa crowdfunding platform on September 23-24.
Ananda’s Twitter account on Friday, September 27, stated that he was picked up by the police for transferring funds for students.
The KitaBisa crowd fund he made has managed to garner around Rp175 million up to this day.
The musician and former journalist wrote at the crowdfunding page that he was moved to contribute the college students who are expressing their aspirations and that his intention in making the KitaBisa page was to fund the protesters’ consumption and mobile sound systems used in the protest against the House of Representatives.
- Impact of Event
- 1
- Gender of HRD
- Man
- Violation
- (Arbitrary) Arrest and Detention, Judicial Harassment
- Rights Concerned
- Right to liberty and security
- HRD
- Media Worker, Pro-democracy defender
- Perpetrator-State
- Government, Police
- Source
- Monitoring Status
- Active
- Date added
- Oct 3, 2019
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Sep 26, 2019
- Event Description
Activist and documentary filmmaker Dandhy Dwi Laksono has been accused by the Jakarta Police for spreading hate speech after he posted about clashes in Jayapura and Wamena, Papua, on his Twitter account.
Dandhy was arrested by the police in Bekasi, West Java, at 11 p.m. on Thursday, after which he was taken to the Jakarta Police headquarters for an interrogation that lasted until 4 a.m. on Friday.
He was named a suspect of violating Article 28 and Article 45 of the Electronic Information and Transactions (ITE) Law and accused of spreading information aimed at fueling hatred based on ethnicity, religion or race.
“In usual [practice], there should have been a summons [to testify] as a witness, but at about 11 p.m. [the police] suddenly handed me an arrest warrant,” Dandhy said after the questioning.
Dandhy’s lawyer Alghiffari Aqsa questioned the police’s decision to name his client a suspect, saying that the articles — which had been slammed by critics and activists for their potential to criminalize criticism — were irrelevant.
“The [information] that Dandhy wrote [on Twitter] is part of his freedom of expression in conveying his opinion on what happens in Papua,” Alghiffari said on Wednesday.
On Sept. 23, Dandhy wrote a thread on his Twitter account @Dandhy_Laksono about the clashes in Jayapura and Wamena, in which he posted the photo of students who were allegedly shot by bullets during the incident.
Papuan university students in exodus from campuses across Indonesia opened a crisis center in [Cendrawasih University]. Authorities pick them up from the campus to Expo Waena. Riots. Some died,” Dandhy wrote in his post.
High school students protest against racism by a teacher. [Security] apparatus handle them. The city is in chaos. Many are wounded by gunshots,” he went on.
Violent unrest erupted in the two cities of Papua on Monday, with some senior high school students reportedly being attacked by security staff as they dispersed a protest.
Papua Police, however, said that the protest occurred because of “baseless” provocation among students about an incident in which a teacher allegedly called a student a “monkey” last week.
After being named a suspect, Dandhy was released by the police on Friday morning. The police’s decision to name him a suspect has been met by criticisms from human rights and press freedom activists, who argue that Dandhy was facing prosecution for expressing his opinion, which in fact is guaranteed by the 1945 Constitution.
- Impact of Event
- 1
- Gender of HRD
- Man
- Violation
- (Arbitrary) Arrest and Detention, Enactment of repressive legislation and policies, Judicial Harassment
- Rights Concerned
- Online, Right to liberty and security
- HRD
- Blogger/ Social Media Activist, Pro-democracy defender
- Perpetrator-State
- Government, Police
- Source
- Monitoring Status
- Active
- Date added
- Oct 3, 2019
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Sep 24, 2019
- Event Description
Journalists covering student protests in cities across Indonesia were attacked by police in a series of brutal incidents on September 24. The International Federation of Journalists (IFJ) and its affiliate the Alliance of Independent Journalists (AJI) condemn the systematic harassment and brutality by Indonesian police and call for immediate action by authorities to hold all perpetrators to account.
Thousands of university students held rallies across Indonesia this week to protest the revision of several Indonesian laws in Jakarta, Bandung, Garut, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Malang, Palembang, Medan, Denpasar, Makassar and Palu. AJI said some journalists covering the rallies were injured by police, while others were intimidated to stop filming or were asked to delete the videos.
At least four journalists were attacked during the Jakarta protests. According to AJI Jakarta branch, a journalist for Kompas Nibras Nada Nailufar was intimidated by police to delete footage of alleged police brutality against a protester near the Jakarta Convention Centre during the evening of September 24. Vanny El Rahman, a reporter of IDN Times, was assaulted and also pressured to erase a video of police violence in Slipi, in West Jakarta. Tri Kurnia Yunianto, of Katadata, and Febrian Ahmad, of Metro TV, were attacked in Jakarta. Despite showing a press card, police confiscated Kurnia’s mobile phone and deleted a video of police firing tear gas at protesters. In a separate incident, Metro TV’s Febrian Ahmad was set upon by a mob of protesters who attacked his work car with sticks and stones.
In Makassar, South Sulawesi, AJI Makassar reported that three journalists were assaulted by police at a rally in front of the regional legislative council. Journalists Muhammad Darwi Fathir, of Antara news agency; Saiful, of inikata.com; and Ishak Pasabuan, of Makassar Today; were physically attacked by police during police clashes with student protesters. In Palu, on Central Sulawesi, police snatched the camera of Rian Saputra, a journalist with public broadcaster TVRI Central Sulawesi and demanded he delete videos.
AJI calls on authorities to investigate the attacks and urged Indonesia’s Press Council to establish an independent task force to deal with violence inflicted against journalists during the mass protests in the country.
AJI Chairman, Abdul Manan, said: “We must remind all sides to respect journalists’ safety while they are on the jobs. We also ask newsrooms to provide tools to keep journalists safe.”
The IFJ said: “We condemn the attacks against journalists in Indonesia while they are endeavouring to do their jobs and report in the public interest. Indonesia’s authorities need to respect the media’s role and ensure every effort to ensure the safety of journalists while they are covering protests.”
- Impact of Event
- 4
- Gender of HRD
- Other (e.g. undefined, organisation, community)
- Violation
- Intimidation and Threats, Violence (physical)
- Rights Concerned
- Offline, Right to healthy and safe environment
- HRD
- Media Worker
- Perpetrator-State
- Government, Police
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Oct 3, 2019
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Sep 13, 2019
- Event Description
Journalists covering the demonstration in front of the Corruption Eradication Commission (KPK) in Jakarta, on Friday, September 13, were harassed, blocked and had their equipment damaged. The International Federation of Journalists (IFJ) and its affiliate the Alliance of Independent Journalists (AJI) Indonesia condemn the attack and call the authorities to investigate and hold accountable those responsible for the assault.
A group of 100 people calling itself ‘The Alliance of Students and Youth Volunteers who Love the NKRI’ and the Indonesia Students Association staged a protestoutside the KPK offices in Jakarta in support of the revisions of the KPK Law No. 32/2002. The demonstration turned violent when protesters started to smash floral bouquets sent by the activists of Indonesia’s anti-corruption movement and threw sticks and stones into the building. They also took down the black cloth covering the logo of KPK and names inside the building. The black cloth was placed there as part of the previous protest against the revision of the KPK Law, which will weaken the institution. The black cloth was a symbol of the gloom and mourning.
The journalists covering the protests were also targeted, stones and rocks were thrown at the press room beside the KPK lobby. Some of the journalists were attacked including on from Berita Satu who was hit. Protesters tried to obstruct the media from recording the violence and one reporter’s camera and tripod were destroyed.
AJI, in its statement, said it regretted the police officers who were on the scene did not take serious action during the riot. The officers allowed the attackers to go and asked the journalists to stop filming of taking photos.
“We urge the police to investigate the riot and prosecute the demonstrators who attacked journalists. We also demand the authorities to ensure the safety of the journalists in Indonesia while they are on duty. In conducting the activities of his profession, the journalist is protected by the Press law,” AJI added.
The IFJ said: “We stand with AJI in condemning the assault against journalists. We also call the Indonesian authorities to investigate and hold accountable those responsible for the attack. The incident was not the first time that the journalists were targeted during the riot. Indonesian authorities must ensure the protection of journalists so it will not occur again in the future.”
- Impact of Event
- 1
- Gender of HRD
- Other (e.g. undefined, organisation, community)
- Violation
- Violence (physical), Wounds and Injuries
- Rights Concerned
- Offline, Right to healthy and safe environment
- HRD
- Media Worker
- Perpetrator-Non-State
- Non-state
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Oct 3, 2019
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Sep 24, 2019
- Event Description
Yesterday, a riot police officer beat and kicked Muh Darwin Fatir, a reporter at Indonesian national news agency Antara News, while he was covering a protest at the parliament building in Makassar, the capital of Indonesia’s South Sulawesi province, according to a report by his employer.
Fatir suffered bruises to his head and boot marks were visible on his body where he was kicked in the stomach; he was treated for his injuries at the local Awal Bros Hospital, according to Antara News.
At least two other journalists, Ishak Pasa'buan, of local outlet Makassar Today, and Muh Saiful Rania, of news website Inikata.com, were also beaten by police, according to a report by Makassar Today.
Several students were also injured during the protest against changes to Indonesia’s corruption and criminal laws, which turned violent when student protesters threw stones and police responded with tear gas and physical violence, according to Antara News and a report by local news outlet Tempo.
"We strongly urge Indonesian authorities to thoroughly and independently investigate the police beatings of journalists in Makassar, and to bring those responsible to justice," said CPJ's Senior Southeast Asia Representative Shawn Crispin. "Journalists must be free to report on civil unrest without fear of being targeted by authorities."
Akhmad Munir, news director at Antara News, called on police to open a serious and transparent investigation into the attack on Fatir in a statement.
The protests in Makassar occurred simultaneously with protests in other Indonesian cities, including Jakarta, Surabaya, and Yogyakarta, according to Tempo.
CPJ emailed Indonesia’s National Police for comment but did not receive a reply.
- Impact of Event
- 3
- Gender of HRD
- Man
- Violation
- Violence (physical), Wounds and Injuries
- Rights Concerned
- Offline, Right to healthy and safe environment
- HRD
- Media Worker
- Perpetrator-State
- Government, Police
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Oct 3, 2019
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Sep 4, 2019
- Event Description
Indonesian police have named human rights lawyer and well-known West Papua advocate Veronica Koman as a suspect in the spreading of “fake news”, accusing her of provoking widespread unrest in Indonesia’s easternmost provinces.
In a move slammed by Amnesty International Indonesia, the human rights lawyer faces charges under the country’s controversial electronic information and transactions law, and faces up to six years in jail if found guilty.
Police specifically mentioned Koman’s posts about an incident in Surabaya in mid-August where military and nationalist militia were captured on video calling Papuan students “monkeys” and “dogs”.
East Java police said the lawyer had provoked and inflamed anti-racist riots that have swept across West Papua in recent weeks, and accused of her spreading fake news and provocative material.
Indonesian police say they have also contacted Interpol to seek assistance in locating the Indonesian lawyer, who they believe is abroad.
Indonesia’s National Commission of Human Rights slammed the move, saying Koman had attempted only to provide “necessary information from a different point of view”.
Usman Hamid, the executive director of Amnesty International Indonesia, said the move was deeply misguided. “The root of the real problem is the act of racism by some members of the TNI [Indonesian army] and the excessive use of force by the police in the student dormitory in Surabaya,” Usman told tirto.id.
Since unrest has flared across West Papua – divided into the two Indonesian provinces of Papua and West Papua – in some cases erupting in violent and fatal clashes, Koman has proved a critical source of information, regularly updating her Twitter account with photos and videos that have provided a rare insight into the realities on the ground.
It comes at a time when internet access has been cut for more than two weeks in the remote area, which is restricted to foreign journalists.
Meanwhile in Geneva, Michelle Bachelet, the UN high commissioner for human rights, who until now has been blocked from the visiting West Papua, said on Wednesday that she was concerned about escalating violence.
“There should be no place for such violence in a democratic and diverse Indonesia, and I encourage the authorities to engage in dialogue with the people of Papua and West Papua on their aspirations and concerns, as well as to restore internet services and refrain from any excessive use of force,” she said, “Blanket internet shutdowns are likely to contravene freedom of expression and limiting communications may exacerbate tensions”.
- Impact of Event
- 1
- Gender of HRD
- Woman
- Violation
- Enactment of repressive legislation and policies, Judicial Harassment
- Rights Concerned
- Online
- HRD
- Lawyer, WHRD
- Perpetrator-State
- Government, Judiciary
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Oct 1, 2019
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Sep 3, 2019
- Event Description
A politician from Perindo Party of Sorong Sayang Mandabayan is undergoing police question in Manokwari Resort Police Headquarters, Papua, over the possession of 1,500 flags of Bintang Kejora or morning star, the symbol of the Free Papua Movement.
“The questioning is still afoot in Manokwari police headquarters,” said National Police spokesman Brig. Gen. Dedi Prasetyo in his office, South Jakarta, Tuesday, September 3.
Sayang was arrested in Rendani Airport, Manokwari, right before claiming his baggage. The airport’s Aviation Security (Avsec) suspected Sayang’s wary behaviors.
The team then searched through his belongings and discovered 1,500 pieces of the small flag of Bintang Kejora in his pink suitcase. He was brought to Rendani Sector Police to be picked by Manokwari police officers for further examination.
Dedi said that according to Manokwari Police, Sayang Mandabayan boarded Wings Air from DEO Airport Sorong to join a peaceful rally which would take place today, September 3, in Manokwari. “We are still examining the suspicion,” he concluded.
- Impact of Event
- 1
- Gender of HRD
- Man
- Violation
- (Arbitrary) Arrest and Detention, Judicial Harassment
- Rights Concerned
- Freedom of assembly, Freedom of movement, Right to Protest
- HRD
- Pro-democracy defender
- Perpetrator-State
- Government, Police
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Oct 1, 2019
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Mar 6, 2019
- Event Description
JAKARTA: Indonesian police arrested an Amnesty activist for insulting the military, the group said on Thursday, after he compared a plan to allow senior officers to hold civilian positions to the days of autocratic leader Suharto. Robertus Robet, a board member of Amnesty International Indonesia, was arrested late on Wednesday, the group said in a statement. Asked about details of the arrest, police spokesman Dedi Prasetyo cited a law under which those who intentionally insult a public institution face jail of up to 18 months. Prasetyo did not give further details. Police arrested Robet based on a speech made during a rally last week in which he spoke against a plan by the government to allow senior military officers to hold civilian positions in government institutions, Amnesty said. The plan "brought to mind the Indonesian Armed Forces (ABRI) dual function in New Order era", Amnesty said, referring to the military under Suharto rule. A video circulating online also showed Robet singing during his speech. "The song was intended as my criticism of the ABRI of the past not the Indonesian National Military (TNI) of the present, let alone intended to insult the profession and institutional organisation of the TNI," Robet said in a televised statement on Thursday. Amnesty said in a statement Robet's arrest was "not only a clear threat to the freedom of speech and expression in Indonesia, but also poses a threat for human rights activists in general". Suharto, who ruled Indonesia with an iron fist for 32 years, was forced from office in 1998 as the world's fourth most populous nation descended into economic and social chaos. Much of the blame for that crisis focused on the nepotism and corruption that became the hallmark of Suharto's later years in power and which saw family members and close associates amass fortunes and come to dominate Indonesia's economy.
- Impact of Event
- 1
- Gender of HRD
- Man
- Violation
- (Arbitrary) Arrest and Detention, Enactment of repressive legislation and policies, Judicial Harassment
- Rights Concerned
- Offline, Right to liberty and security
- HRD
- Pro-democracy defender
- Perpetrator-State
- Armed forces/ Military, Government, Police
- Source
- Monitoring Status
- Active
- Date added
- Sep 20, 2019
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Feb 2, 2019
- Event Description
The police have proceeded to a fully fledged criminal investigation of the reported assault on two Corruption Eradication Commission (KPK) investigators who were assigned to tail several Papuan officials at a Jakarta hotel, the antigraft body says. "According to the information we have received from the Jakarta Police, they will use the result of medical examinations of our injured employees as evidence," KPK spokesman Febri Diansyah said in Jakarta on Thursday. "This should confirm the allegations of assault on the on-duty officers[...] and dismiss claims made by other parties regarding the incident at the hotel. The remaining task is to look for potential suspects." The incident occurred on Saturday night at the Borobudur Hotel in Central Jakarta, where officials from the Papua provincial administration, including Governor Lukas Enembe, were holding a meeting with Papua Legislative Council (DPRD) members to discuss the province's 2019 draft budget. At that time, an administration staff member noticed that one of the two KPK investigators positioned in the hotel was taking photographs of the officials. The Papua officials subsequently detained the KPK employees. According to the antigraft body, its investigators were then assaulted, resulting in injuries, including a broken nose that required surgery. The KPK reported the assault to the Jakarta Police on Sunday afternoon. The Papua administration, however, has rejected the KPK's narrative. Its spokesperson, Gilbert Yakwar, denied the assault or indeed that any sort of altercation occurred between the two sides. "Regarding the issue of assault on the two officials resulting in surgery to the nose and/or face, we need to reiterate that this is not true," he said in a statement on Monday. "There was only pushing involved because[the administration officials] became emotional about being suspected of bribery and part of a KPK raid." Febri added that the antigraft body appreciated the Jakarta Police's swift response in investigating the case. One of the injured investigators, identified as Muhammad Gilang, remained under medical treatment at the hospital after undergoing successful surgery on Monday. Jakarta Police investigators on Wednesday questioned at least five witnesses in the case. "The witnesses include three security guards, a security camera operator and a hotel receptionist," Jakarta Police spokesman Sr. Comr. Argo Yuwono said on Thursday, as quoted by kompas.com. He added that investigators had sent security camera footage depicting the alleged assault to the National Police's forensics laboratory. Antigraft activists, including Indonesia Corruption Watch (ICW) and Transparency International Indonesia, have called on the police to thoroughly investigate the case in order to prevent similar attacks from recurring in the future. The Anti-Corruption Study Center (PUKAT) at Gadjah Mada University added its voice on Wednesday, demanding that the police solve the case once and for all so similar attacks would not disrupt the commission's fight against corruption. "Law enforcers should provide protection to KPK leaders and employees in conducting their work," PUKAT researcher Oce Madril said. Meanwhile on Thursday, the KPK named House of Representatives lawmaker Sukiman and the acting head of the public works agency in Pegunungan Arfak, West Papua, Natan Pasombo, suspects in a graft case related to the deliberations of fiscal transfers allocated for the regency in the 2017 revised State Budget and 2018 State Budget. Febri stressed the case was not related to Saturday's alleged assault.
- Impact of Event
- 2
- Gender of HRD
- Man
- Violation
- Violence (physical)
- Rights Concerned
- Right to information
- HRD
- RTI activist
- Perpetrator-State
- Government
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Sep 20, 2019
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Jan 7, 2019
- Event Description
Eight activists with the West Papua National Committee, or KNPB, have been questioned by Indonesian police in Timika in relation to alleged subversion or treason. This comes after members of the pro-independence organisation were forced out of their secretariat by dozens of police last Thursday in the southern Papuan city. Police allegations relate to the 31st of December, when KNPB members said they prepared to host a prayer event before a joint police and military operation dispersed them. However, a lawyer working for the KNPB, Veronica Koman, has disputed the legality of police procedure when questioning KNPB activists on Saturday. She said police failed to issue the required notice of three days for the summons. CNN Indonesia reported that the KNPB secretariat is still under the control of Indonesian military and police who intend to use it as a post. The local police chief, Senior Commissioner Agung Marlianto, said police have been acting in the interests of safeguarding the unity of the Unitary State of the Republic of Indonesia. UPDATE: On 5 January 2019 three men of the 8 questioned were detained and later charged with treason, which carries a maximum sentence of life imprisonment in Indonesia.
- Impact of Event
- 8
- Gender of HRD
- Other (e.g. undefined, organisation, community)
- Violation
- (Arbitrary) Arrest and Detention, Judicial Harassment
- Rights Concerned
- Right to liberty and security
- HRD
- Minority rights defender, Pro-democracy defender
- Perpetrator-State
- Government, Police
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Sep 20, 2019
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Jan 28, 2019
- Event Description
MENEMENG, Indonesia - An environmental activist and his family survived an attack on their lives early Sunday morning after assailants barricaded them inside their home and set it on fire. Murdani heads a chapter of Indonesia's largest environmental NGO, the Indonesian Forum for the Environment (Walhi). At around 3 a.m., he and his wife woke to the smell of burning on the second floor of their home in Menemeng village on Lombok, an island next to Bali. Over the past few months, Murdani had noticed people watching his house. He had recently taken to sleeping on the front porch in order to keep guard, though on this night he slept upstairs. Upon waking, Murdani and his wife immediately woke their two children. Murdani grabbed the younger one and rushed downstairs to find the front door on fire. The fire had surrounded part of the house and was spreading inside. His wife brought the older child down by way of the roof of a kiosk next door. Seeing her shouting, the neighbors rushed over to help. It took them 45 minutes to douse the flames. After dawn broke and the police arrived, they found a pillow under the front wheel of Murdani's car, apparently used to set it alight. They also found a plastic bag that smelled of gasoline by the house. Whoever started the fire had covered the security camera above the front door with a hat. They used a wooden chair to jam the door shut and a bamboo table to block another door. "The goal was to trap us inside," Murdani told Mongabay two days after the attack. Precisely why Murdani was targeted is not yet clear. The list of contentious development projects he has spoken out against in West Nusa Tenggara province, where he heads Walhi's operations, is long - from the reclamation of Bima Bay on the neighboring island of Sumbawa to gold mining on Lombok. However, Murdani suspects it was his work on sand mining that prompted the attack. Sand mines abound in the part of Lombok where Murdani lives. Under his leadership, Walhi's chapter in the province has fought illegal sand mines and urged the government not to issue permits for new sand mines. A year ago, residents asked Murdani to help advocate for the rejection of a proposed sand mine on the border of Menemeng and Bilebante, a village known as an ecotourism destination. Residents have complained the sand mining has resulted in damaged roads, landslides and cloudy water. At one point the developers behind a controversial plan to reclaim Bali's Benoa Bay floated plans to dredge sand from Lombok to be used as infill for the massive tourism project, although the provincial government rejected the proposal. "We've received a lot of threats by text message," Murdani said. There are many players in the local sand mining industry. Murdani doesn't want to speculate as to the culprit. He wants the police to handle it, although Walhi has formed its own team to investigate the attack. Murdani's case is not an outlier, said Puri Kencana Putri, campaign manager with Amnesty International. She pointed to the 2015 murder of Salim Kancil, a farmer who organized protests against a sand mine in Lumajang, East Java; and an attack last November on the office of the Mining Advocacy Network, or Jatam, in East Kalimantan province. "In Murdani's case, we know he advocates for and defends people's rights in the natural resource and extractive sectors, including mining," Puri said. "There are groups who don't like what he does." She called on the government to ensure protection for Murdani and his family. From 2010 to 2018, there were 171 recorded cases of violence against activists in Indonesia, according to Ainul Yaqin from the Indonesian Human Protection Foundation (YPII). Most of the victims were environmental activists. Muhammad Isnur of the Indonesian Legal Aid Foundation called on the police to focus on catching not just the people who attacked Murdani's house, but whoever put them up to it. "They've got to go after the mastermind," he said. However, he was pessimistic about the police getting to the bottom of the case, citing the lack of progress in the Jatam investigation.
- Impact of Event
- 1
- Gender of HRD
- Man
- Violation
- Intimidation and Threats, Violence (physical)
- Rights Concerned
- Right to healthy and safe environment
- HRD
- Community-based HRD, Environmental rights defender
- Perpetrator-Non-State
- Suspected non-state
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Sep 20, 2019
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Jun 11, 2019
- Event Description
JAKARTA - A former officer in Indonesia's special forces has filed a complaint with the country's press council and police against prominent news magazine Tempo. In his filing Tuesday, Former Major General Chairawan Kadarsyah Nusyirwan said the magazine reported the involvement of former members of the Tim Mawar or the Rose Team, in riots last month. Chairawan's lawyer, Herdiansyah, said the former soldier "feels harmed personally because he was a part of the (Rose Team)", according to the news site Kompas. The Rose Team is notorious for its involvement in several kidnappings of activists in 1997 and 1998, during the era of the so-called New Order under authoritarian President Suharto. Several of the unit's members, including Prabowo Subianto, who lost this year's presidential election to incumbent President Joko Widodo, were subsequently fired. One of those named in Tempo's report on last month's riots is Fauka Noor Farid, one of Prabowo's underlings in the special forces. The magazine reported Fauka had said it would be beneficial if there were to be a confrontation between protesters and officers. The May 21 and 22 riots began as a peaceful protest against irregularities in this year's elections, but devolved into violence that left eight dead and more than 700 injured. The magazine also reported cases of arms dealing and assassination attempts against several current Indonesia ministers. Arif Zulkifli, Tempo magazine's editor-in-chief, told VOA his team's reports are "airtight, journalistically." He said, "We've had police reports on us relatively often. It's fine as long as the Press Council decides that we did nothing wrong." This is not the first time Tempo has been attacked for its work. In 2010, the 48-year-old magazine uncovered graft allegations of some high-ranking police officers that led unidentified people to fire bomb Tempo's office in Jakarta. Tempo was temporarily disbanded in June 1994, along with two other publications, and its circulation was halted for four years after it published an investigation on Indonesia's dubious purchase of war ships. Indonesia's press freedom Tempo's history is emblematic of Indonesia's struggle for press freedom, granted finally in 1999 with the enactment of the Press Law. During the authoritarian New Order era, stretching from 1966 to 1998, press freedom was virtually non-existent. It was not until 1998 that the special government-issued press license regulation was jettisoned by Suharto's replacement, President B.J. Habibie. Though democracy restored press freedom, questions about uninhibited freedom linger. "In the past couple of years that we've seen demonstrations in Jakarta, there were cases of violence against journalists. This was never resolved by the state apparatus," said Wisnu Prasetya Utomo, a researcher at the Digital Media and Communication Research Center (Decode) of the University of Gadjah Mada, "This is what makes our press freedom so fragile." According to a report by the Indonesian Alliance of Independent Journalists, there were 64 cases of violence directed at journalists in 2018. The Reporters Without Borders' annual World Press Freedom Index puts Indonesia at 124 out of 180 countries listed. The country also maintains restrictive access for foreign reporters on the easternmost island of Papua, a hotbed for military violence and struggles for independence. Indonesia also enforces the electronic information and transactions law, the closest legal standing it has to an online defamation law. Today's print journalism in Indonesia is dogged by tighter competition with online media that led to the closure of more than 20 print publications from 2015 to 2017. But intimidation and litigation against news outlets has persisted since the New Order era, as shown by the case of Tuesday's police report. "Because the cycle of impunity continues, this will keep happening," said Wisnu.
- Impact of Event
- 1
- Gender of HRD
- Other (e.g. undefined, organisation, community)
- Violation
- Judicial Harassment
- Rights Concerned
- Offline
- HRD
- Media Worker, NGO
- Perpetrator-Non-State
- Non-state
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Sep 19, 2019
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- May 21, 2019
- Event Description
JAKARTA - Crews from ABC News Australia are the latest journalists to report they faced intimidation and assault as they reported on the Jakarta protests after President Joko Widodo was confirmed the winner of last month's general elections, increasing concern over press freedom in Indonesia. The Jakarta Foreign Correspondent Club (JFCC), with members who are foreign journalists and correspondents in Indonesia made a similar appeal. "We are deeply concerned to learn that journalists have been intimidated and even physically attacked during the recent protest rallies in Jakarta" said the JFCC in a statement. "Some of our members have been targeted during rallies and also on social media in what needs to be addressed to prevent this becoming a threat to press freedom in Indonesia." Eight people were killed and more than 900 hurt on May 21 and 22 in two nights of fighting between security forces and supporters of defeated presidential candidate Prabowo Subianto. Security officials said they believe the violence was organized by several groups, including one linked to the Islamic State and another to a retired special forces general accused of smuggling weapons to Jakarta. ABC correspondent for South East Asia David Lipson on May 26 tweeted a correction saying his crew was attacked "by protestors, not police. Everyone is OK, thanks to a soldier to who stepped in." Lipson's tweet corrected information released by Amnesty International Indonesia and the Indonesian Journalist's Association (AJI). The two groups had said police intimidated the ABC journalists. Reporters Without Borders (RSF), an international non-profit that advocates for journalists and press freedom, said that in Indonesia, President Joko "Jokowi" Widodo did not keep campaign promises during his five-year term. His presidency was marked by serious media freedom violations, and the military is known to "intimidate reporters and even use violence against those who cover their abuses", referring to AJI. In the annual RSF World Press Freedom Index Indonesia was 124 of 180 countries surveyed, as it has been since 2017. In 2013, it was 139. Two Associated Press journalists, Stephen Wright and Niniek Muji Karmini, reported they were intimidated on social media. People who claimed they were Prabowo supporters published personal information about the journalists, who then received threats such as "We will take care of her." Prabowo, a former general, represented Indonesia's traditional elites, and now refuses to concede that he lost the April 17, 2019 vote. More than 20 journalists have reported that they were intimidated, persecuted and assaulted during the street protests against the election count released on May 21 by Indonesia's General Elections Commission, the Komisi Pemilihan Umum, which is popularly known as KPU. AJI said that TV and radio journalists were "physically assaulted, slapped, intimidated, persecuted and threatened, not only by police but also protesters. Some of them were forced to delete their documentation---photos, audio and video---and some equipment was seized. One journalist's motorcycle was set on fire." AJI believes many attacks and cases of intimidation have gone unreported because journalists fear repercussion from the military or the police. The journalist's group called on authorities to investigate all of reported attacks and instances of intimidation against journalists. AJI also appealed to media owners and top editors to take responsibility for the safety of their journalists by providing appropriate training and covering the cost of injuries the journalists may have received while reporting. The JFCC called on all parties, including those who oversee political campaigns and security forces, to respect the right of journalists to cover news. "Given the current heated political tensions, we also urge all journalists to take sensible precautions if they are required to cover rallies such as ensuring they operate in teams, position themselves in a location where they limit the risk of being hit by projectiles or physically targeted, and have suitable protective gear and a clear exit strategy" said the JFCC in a statement. Dedi Prasetyo, spokesman for Indonesia's National Police on May 24 told VOA that the police have informed some editors in chief, the chairman of the Indonesian TV Journalist Association (IJTI), PWI (an Indonesian journalist association) and the Press Council that "in order to avoid more violence" all journalists should be clearly identified, and examples of the identification shared with authorities "Please communicate with us" he said. "Once we know the ID, we can brief our personnel to recognize that it identifies somebody as a journalist. We need to see a clear press ID." Niniek, who has reported from Jakarta for two decades, told VOA by phone that the "AP has increased their security measures in the Jakarta' office. AP also asked me not to take public transportation now, and not to cover protest or riots or terrorism issues for a while." Niniek said that even though she was doxed through her personal Twitter account and the official AP account, "this kind of threat will never discourage me to continue my journalistic work." "During the Jakarta local election in 2017, I was also threatened, but I have to admit that what happened today is worse they posted, Stephens' photo, our office address, and urged people to take actions against me."
- Impact of Event
- 20
- Gender of HRD
- Other (e.g. undefined, organisation, community)
- Violation
- Intimidation and Threats, Violence (physical)
- Rights Concerned
- Right to information
- HRD
- Media Worker
- Perpetrator-State
- Police
- Perpetrator-Non-State
- Non-state
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Sep 19, 2019
- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Aug 22, 2019
- Event Description
Following the government-led internet shutdown in Indonesia’s eastern provinces of Papua and West Papua a journalist has been doxxed and harassed online. The International Federation of Journalists (IFJ) and its affiliate the Alliance of Independent Journalists (AJI) Indonesia have condemned the attack on the journalists and called on the local authorities to ensure the media are protected as they work.
Victor Mambo, a journalist with Koran Jubi and jubi.co.id, as well as a member of AJI’s executive committee was harassed and doxxed online on Thursday, August 22, after the internet shutdown continued into a second day. In one tweet from user @antilalat Victor was linked to the Free Papua Movement (OPM) and accused of being an informer for Papuan lawyer, which was followed by a second tweet giving out Victor’s home address.
Doxxing refers to publishing private or identifying information about a person on the internet, typically with malicious intent. This is not the first time that Victor has been targeted online. The same user had threatened Victor in July, 2019.
On Saturday, Victor proceeded with an urgent appeal to UN Special Rapporteur on Freedom of Expression, David Kaye, regarding the internet shutdowns in the provinces.
In a statement, AJI said that the harassment and doxxing of Victor are an attempt to intimidate him. As a journalist, Victor has done his job to report objectively and complied with the journalism code of ethics in his verification processes.
“AJI would also like to remind to the social media users as well as authorities that journalists on their duty are protected by the Law No.40/1999 on the Press. If anyone thinks there is incorrect journalistic material published in the media, the Press Law has the mechanism through right to reply and correction and filing of complaints to the Press Council,” AJI said.
The IFJ said: “The harassment and doxxing of Victor Mambo is a blatant attempt to silence critical voices, and intimidate him. He is a respected journalist and was simply doing his job, reporting of the current internet shutdown in Indonesia. We urge the Indonesian authorities investigate the ongoing attacks, and take steps to guarantee Victor’s safety.”
- Impact of Event
- 1
- Gender of HRD
- Man
- Violation
- Intimidation and Threats, Online Attack and Harassment
- Rights Concerned
- Online
- HRD
- Media Worker
- Perpetrator-Non-State
- Non-state
- Monitoring Status
- Pending
- Date added
- Sep 4, 2019
85 shown of 85 entities