Indonesia: student journalist harassed, beaten and arrested for covering students protest
Event- Country
- Indonesia
- Initial Date
- Oct 8, 2020
- Event Description
Aksi Demonstrasi menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja di Gedung Negara Grahadi Surabaya, pada Kamis lalu (8/10/2020) menyisakan pengalaman buruk bagi EA, seorang mahasiswa yang juga jurnalis kampus di Kota Pahlawan itu. Ia mengaku mendapat tindakan represif dari aparat.
Kepada CNNIndonesia.com EA menuturkan peristiwa itu berawal ketika dirinya meliput aksi unjuk rasa mahasiswa di Gedung Grahadi.
Semula berjalan kondusif. Namun jelang sore hari, bentrokan pecah antara massa dengan aparat. Gerbang sisi barat Grahadi jebol, disusul sisi timur beberapa jam setelahnya.
Aksi saling lempar pun tak terhindarkan. Massa melempari aparat dengan botol, batu dan kaca serta benda lainnya. Aparat kemudian dibalas dengan menembakkan gas air mata dan semprotan water canon.
Di tengah kericuhan tersebut, EA yang berada di halaman Grahadi terus berupaya mendokumentasikan semua yang terlihat sepanjang mata memandang sembari berlindung di balik pepohonan.
EA lalu mendapati sejumlah aparat kepolisian menangkap paksa para peserta aksi. EA lantas mendokumentasikannya.
“Saat kericuhan saya mendokumentasikan semua yang terjadi. Ada aparat kepolisian yang menangkap massa, saya juga mendokumentasikannya,” kata EA, Rabu kemarin (14/10/2020).
Tiba-tiba seorang polisi kemudian menghampiri EA. Aparat tersebut menanyai dari mana dia berasal.
EA menjelaskan bahwa dirinya adalah mahasiswa sekaligus jurnalis kampus. Ia juga memperlihatkan kartu pers serta seragam yang ia kenakan. Namun polisi itu makin mengintimidasinya.
“Saya lupa satuannya tapi dia berseragam. Dia memaksa saya menghapus foto dan video di kamera saya,” kata EA.
EA terpaksa menuruti permintaan petugas tersebut untuk menghapus hasil jepretannya.
“Setelah mau menghapus, tapi tiba-tiba kamera saya disita, ada [polisi lain] yang bilang, ‘bawa ke belakang saja’,” tambahnya.
EA kemudian ditangkap dan Dibawa ke selasar belakang Gedung Grahadi bersama ratusan peserta aksi lain yang juga ditangkap.
Saat diamankan, seorang polisi tiba-tiba menendang wajah EA. Akibatnya bibir dan matanya memar.
“Saya ditendang pas bibir kanan bawah, pas masih pakai masker,” ucapnya.
EA mengatakan dirinya dan ratusan massa lain juga dipaksa untuk membuka baju. Diiringi pukulan dan tendangan ke bagian kepala.
Polisi juga mengumpulkan peserta aksi yang tertangkap dalam satu area, tanpa menerapkan protokol kesehatan, seperti menjaga jarak. Beberapa pedemo pun tak lagi mengenakan masker.
“Setelah beberapa lama baru ada polisi yang memberi masker,” kata EA.
EA bersama ratusan peserta aksi lainnya lalu digelandang ke Markas Kepolisian Daerah Jawa Timur (Polda Jatim) dengan truk. Dalam proses saat hendak naik ke truk, polisi lagi-lagi memukuli tubuh mereka, kali ini dengan rotan.
“Kami disuruh Jalan jongkok, saat mau menaiki truk, kami dipukul dengan rotan, di badan,” ujar dia.
Sesampainya di Mapolda Jatim, mereka ditempatkan di sebuah lapangan dekat Direktorat Resesre Kriminal Umum. Polisi kemudian kembali memukuli massa aksi dengan rotan. Termasuk EA sendiri.
Hingga malam hari, para pedemo tetap ditempatkan di lapangan terbuka, mereka tak diperkenankan istirahat dengan laik. Bahkan tanpa mengenakan baju, mereka dibiarkan tidur di lapangan, tanpa alas.
Massa kemudian menjalani pemeriksaan tanpa boleh didampingi oleh kuasa hukum dari LBH atau lembaga semacamnya. Alat komunikasi mereka disita. Sidik jari diambil. Mereka juga harus menjalani rapid test.
“Kami tidak bisa menghubungi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) atau keluarga, handphone kami disita. Kamera saya juga,” ucapnya.
Saat pemeriksaan, petugas kepolisian menjelaskan bahwa dirinya terancam dijerat Pasal 214 KUHP tentang melawan petugas dan Pasal 170 KUHP tentang perusakan. Padahal EA sama sekali tak melakukan dua hal itu.
EA kemudian dibebaskan pada Jumat (9/10/2020) malam. Kameranya tetap disita, alat komunikasinya lenyap entah kemana. Yang ia bawa pulang hanya perih dari luka penyiksaan aparat kepolisian.
“Bibir sebelah kanan saya luka, lebam juga. Pelipis mata sebelah kanan lebam. Pinggang bagian belakang juga masih berbekas rotan, luka,” ujarnya.
Petugas mengatakan kepada EA bahwa dirinya dibebaskan atas perintah dari Kapolda Jawa Timur. Petugas juga meminta agar massa menjadikan itu semua sebagai pelajaran.
Dikonfirmasi terkait dugaan penganiayaan dan tindakan kekerasan kepada para peserta aksi tersebut, Kepala Bidang Humas Polda Jatim Komisaris Besar Trunoyudo Wisnu Andiko menolak memberikan komentar.
“Tidak ada, tidak ada, sudah cukup. Sekarang kami fokus ke penyidikan,” kata Truno, kepada CNNIndonesia.com.
Berdasarkan catatan Polda Jatim, dalam aksi Tolak Omnibus Law Cipta Kerja Kamis (8/10) setidaknya ada 634 pedemo yang diamankan di Surabaya dan Malang. sebanyak 620 diantaranya dipulangkan, sedangkan 14 orang lainnya ditetapkan sebagai tersangka. Dugaan Pelanggaran Polisi
Sementara itu, LBH Surabaya menerima sejumlah aduan dari para demonstran yang sempat ditangkap oleh polisi usai aksi Kamis (8/10) lalu. Para pedemo mengaku mendapatkan perlakuan kekerasan dari aparat kepolisian saat proses penangkapan hingga ketika ditahan selama semalaman.
“Banyaknya dipukul di kepala dan di punggung. Ada yang masih berbekas, bahkan berdarah,” kata Kepala Bidang Kasus Buruh dan Miskin Kota LBH Surabaya, Habibus Shalihin.
Habibus pun meminta para korban tersebut untuk melakukan visum mandiri ke rumah sakit sebagai bukti ada tindak kekerasan yang mereka alami. Setelah itu, aduan tersebut akan diproses oleh LBH sebelum menentukan langkah selanjutnya.
Senada, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya mencatat setidaknya ada tujuh bentuk tindak kekerasan kepolisian selama menangani dan mengamankan aksi Tolak Omnibus Law di Surabaya.
“Pertama adalah aparat kepolisian [diduga] melakukan penangkapan secara sewenang-wenang kepada beberapa massa aksi yang baru akan melakukan aksi, kepada massa aksi yang tidak terlibat dalam perusakan dan penyerangan serta sedang dirawat di posko medis,” kata Koordinator KontraS Surabaya, Rahmat Faisal.
Kedua aparat kepolisian diduga juga melakukan tindak kekerasan kepada massa aksi yang menjadi relawan medis. Massa aksi tidak bersenjata dan massa aksi yang tidak melawan saat ditangkap.
Ketiga, kata Rahmat aparat kepolisian diduga melakukan penyerangan dan melakukan perusakan terhadap sekretariat PMKRI, yang digunakan untuk posko kesehatan selama aksi.
Polisi juga diduga melakukan intimidasi dan ancaman ke masyarakat serta jurnalis yang berupaya mendokumentasikan kerusuhan selama aksi. Hal itu dilakukan dengan cara merampas alat dokumentasi yang digunakan dan menghapus paksa hasil foto serta video.
Kelima, aparat kepolisian diduga menghambat akses informasi mengenai data pasti siapa saja dan berapa jumlah keseluruhan massa aksi yang ditangkap, termasuk status penahanannya. Tim advokasi jadi mengalami kesulitan dalam melakukan bantuan hukum.
“Pelanggaran keenam terkait aparat kepolisian yang hingga kemarin belum memberikan informasi secara detail jumlah jenis dan keberadaan barang-barang yang dirampas selama aksi,” ujarnya.
Ketujuh, aparat kepolisian diduga melakukan kekerasan dan tindakan tidak manusiawi kepada tersangka anak di bawah umur selama proses penangkapan.
KontraS menuntut pada Polri untuk mengakui bahwa aparat kepolisian telah melakukan tindak kekerasan, penangkapan, teror, perampasan, dan intimidasi kepada masyarakat umum, peserta aksi, dan jurnalis di Gedung Negara Grahadi.
“Kami juga meminta polisi untuk menyampaikan permohonan maaf pada pihak korban dan masyarakat atas tindakan tersebut. Kedua melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap kinerja seluruh anggota aparat Polda Jatim dan Polrestabes Surabaya,” ujarnya
Selain itu, menurut Rahmat, bagi aparat kepolisian yang terlibat dalam tindak kekerasan, mereka bisa diberhentikan secara tidak hormat sesuai dengan proses hukum yang berlaku.
“Terakhir, kami meminta untuk hak korban bisa dipenuhi dengan memberi kompensasi dan rehabilitasi yang layak demi kemanusiaan,” katanya.
- Impact of Event
- 1
- Gender of HRD
- Man
- Violation
- (Arbitrary) Arrest and Detention
- Intimidation and Threats
- Use of Excessive Force
- Violence (physical)
- Rights Concerned
- Offline
- Right to healthy and safe environment
- Right to liberty and security
- HRD
- Student
- Perpetrator-State
- Police
- Source
- Monitoring Status
- Pending
- Event Location
Latitude: -7.258655858386258
Longitude: 112.71777951568298
- Event Location
- Summary for Publications
On 8 October 2020, EA, student, was intimidated by the police, beaten and temporarily arrested for covering the ongoing students protest in Surabaya, Indonesia.